DAHSYATNYA KALIMAT والله أعلم بالصواب
(Wallahu a’lam bi ash-showab)
Oleh: Achmad Subkhan, SHI., MSI.
Widyaiswara Ahli Madya
Ketika kita mendengarkan ceramah atau membaca buku, sering kita dengar atau dapati pernyataan والله أعلم بالصواب (wallahu a’lam bi ash-showab) yang terucap dari penceramah atau tertulis dalam buku. Mungkin ada yang bertanya, mengapa perlu ada pernyataan seperti itu?
Pernyataan wallahu a’lam bi ash-showab, kalau diterjemahkan berarti “dan Allah-lah yang paling mengetahui kebenaran”. Maksudnya, setelah penceramah atau penulis buku menjelaskan jawaban atau bahasan suatu masalah, meskipun dalam pembahasannya didasarkan pada analisa yang dalam dan dalil yang sesuai, bagaimanapun juga, tetap hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui kebenaran suatu masalah tersebut. Hal ini di samping sebagai bentuk ketundukan dan kepasrahan, juga merupakan bentuk kejujuran ilmiah.
Selain bentuk pernyataan wallahu a’lam bi ash-showab, kadang ulama meringkasnya menjadi wallahu a’lam. Meskipun demikian, kalimat yang lebih ringkas tersebut memiliki makna yang sama. Ulama memiliki pengetahuan bagaimana bersikap terhadap ilmu dan pemilik ilmu, yaitu Allah SWT. Karena sesungguhnya, manusia ketika dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa.
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani agar kamu bersyukur”. (QS. An-Nahl:78)
Dalam tafsirnya, Ibnu Jarir at-Thobari menjelaskan, “Allah memberitahu kamu tentang sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya, setelah Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak berakal dan tidak berpengetahuan. Kemudian Allah memberimu anugerah rizki akal sehingga dengan akal kamu mampu memahami, dengan akal kamu dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Allah membuatkanmu penglihatan sehingga kamu dapat melihat berbagai hal, membuatkanmu pendengaran sehingga kamu dapat mendengar segala macam suara”.
Berdasarkan penjelasan tafsir di atas, ada hikmah besar yang apabila kita renungkan, resapi dan internasilasi, akan membimbing kita menjadi orang yang mampu mengendalikan ego, menjadi manusia yang “menep”, tidak reaktif, menjadi manusia yang banyak bersyukur.
1. “Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu”
Kita dipilih oleh Allah untuk dilahirkan ibu kita ke dunia ini merupakan nikmat yang paling agung, yang oleh ulama disebut dengan ni’matul ijad (nikmat diwujudkan). Bayangkan, di antara ribuan sel sperma, hanya ada 1 sel sperma yang berhasil membuahi sel telur. Dan itulah kita. Satu sel dari ribuan sel yang dipilih oleh Allah. Seandainya Allah tidak memilih satu sel tersebut, tidaklah kita terlahir di dunia, kita tidak terwujud di dunia.
2. “keadaan tidak mengetahui sesuatu pun”
At-Thobari menjelaskan:
“Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak berakal dan tidak berpengetahuan”.
Tidak ada manusia yang langsung memiliki pengetahuan saat dia lahir. Siapa yang melahirkan, mengapa dilahirkan, nama makhluk yang mengelilinginya, nama rasa lapar, apa yang harus dilakukan saat ada perasaan haus, nama perasaan haus, dan sebagainya, itu semua tidak ketahui oleh manusia saat dilahirkan.
“Kemudian Allah memberimu anugerah rizki akal sehingga dengan akal kamu mampu memahami, dengan akal kamu dapat membedakan yang baik dan yang buruk.”
3. “Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati nurani”
Pendengaran, penglihatan dan hati nurani adalah nikmat yang besar, merupakan perangkat pokok pengetahuan manusia. Dengan pendengaran, manusia dapat mendengar berbagai suara. Melalui penglihatan, manusia dapat melihat berbagai hal. Dan hati nurani berperan sebagai panduan etika dan moral yang mendorong seseorang untuk berprilaku dan bertindak sesuai nilai-nilai yang benar dan prinsip-prinsip yang baik. Imam Al-Ghazali menyatakan, hati nurani adalah pusat spiritualitas dan moral seseorang.
4. “agar kamu bersyukur”
Kesadaran ni’matul ijad, sadar bahwa pengetahuan yang dimiliki datang dan atas izin Allah, dan sadar bahwa pendengaran, penglihatan, dan hati nurani merupakan nikmat besar, akan membimbing kita menjadi manusia yang bersyukur.
Kecerdasan dan pengetahuan manusia berbeda-beda. Karena, begitulah kehendak Allah. Ada manusia dengan kecerdasan tinggi dan memiliki pengetahuan yang banyak. Ada pula dengan kecerdasan biasa dan memiliki pengetahuan yang biasa pula. Namun, semua pengetahuan itu pada dasarnya dari Allah. Para ulama menyadari sepenuhnya, bahwa semua pengetahuan yang dimilikinya semata-mata datang dari Allah. Atas izin Allah pula, pengetahuan tersebut dapat bertahan lama, tidak mudah lupa. Mereka juga menyadari, manusia dengan segala keterbatasannya tidak luput dari kesalahan. Pun dalam hal pengetahuan, bisa benar bisa salah. Dengan kesadaran seperti ini, ulama terhindar dari bangga diri atas ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan terhindar dari melampaui batas. Pada akhirnya mereka mengucapkan:
والله أعلم بالصّواب
Abū Nu’aim al-Aṣbahānī meriwayatkan dari Wahb bin Munabbih yang mengatakan bahwa ilmu itu bisa membuat orang melampaui batas sebagaimana harta juga bisa membuat orang melampaui batas.
عَنْ وَهْبٍ، قَالَ: «إِنَّ لِلْعِلْمِ طُغْيَانًا كَطُغْيَانِ الْمَالِ» »
Artinya,
“Dari Wahb beliau berkata, ‘Sesungguhnya ilmu itu bisa membuat melampaui batas
sebagaimana harta juga bisa membuat melampaui batas’.” (Ḥilyatu al-Auliyā’ juz
4 hlm 55)
Dengan demikian, maka kedahsyatan kalimat والله أعلم بالصواب adalah sebagai bentuk tafwid (kepasrahan) diri kepada Allah. Meskipun seseorang memiliki pengetahuan dan mampu menjelaskan sesuatu dengan baik, namun pada hakikatnya, pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya adalah dari Allah, serta yang mengetahui kebenaran hanyalah Allah. Wallahu a’lam bi ash-showab
Semoga bermanfaat
Penulis : Achmad Subkhan (Widyaiswara BDK Semarang)
Editor : Tim Publikasi BDK Semarang
Sumber :
Tidak ada berita terkait