Top
    bdk_semarang@kemenag.go.id
(024) 7460290 / 08-222-555-9177

MENUMBUHKAN KESADARAN AKUNTABILITAS SPIRITUAL MELALUI TRANSFORMASI NILAI-NILAI SPIRITUALITAS

Selasa, 08 Oktober 2024
Kategori: Artikel Ilmiah
81 kali dibaca

MENUMBUHKAN KESADARAN AKUNTABILITAS SPIRITUAL MELALUI TRANSFORMASI NILAI-NILAI SPIRITUALITAS

(Kajian Surat-Surat Pilihan dalam al-Qur’an)

Oleh: Achmad Subkhan

Widyaiswara Ahli Madya

Balai Diklat Keagamaan Semarang


Kesadaran spiritualitas bukanlah sesuatu yang given, melainkan diperoleh dari usaha (kasbi), pemahaman yang mendalam atas ajaran-ajaran agama dan kemudian dilakukan proses internalisasi yang terus menerus sehingga menjadi sebuah habituasi. Ini bisa dipahami bahwa spiritualitas bukanlah sesuatu yang baru. Maksudnya bahwa sejak seseorang dilahirkan dan tumbuh hingga nalar dapat memahami suatu pengalaman metafisik, ia telah mengalami suatu pengalaman spiritual. Nurtjahjanti (2010: 27) mengatakan bahwa semua tradisi agama besar pada level tertentu mendorong kehidupan kontemplatif, yakni bahwa pencarian makna dan tujuan merupakan hal utama dan hidup dalam harmoni dengan orang lain dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting spiritualitas mengakui bahwa terdapat sesuatu yang sakral pada pusat dari segala kehidupan. Apapun sumbernya, elemen sakral ini tinggal di dalam setiap organisme yang hidup. Di samping itu, agama menyediakan ajaran-ajaran normatif mengenai nilai-nilai hendaknya dipraktekkan dalam kehidupan pemeluknya. Jika ia jauh dari nilai-nilai tersebut, yakinlah tidak akan dapat meraih kebahagiaan hidup.

Dorongan kontemplatif dan penyediaan nilai-nilai yang kemudian dipraktekkan dalam kehidupan, akan membentuk suatu prilaku. Teori behaviorisme menyatakan bahwa prilaku manusia disebabkan oleh adanya stimulus-respon. Keduanya merupakan kondisi yang membentuk prilaku (conditioning). Maka, prilaku keagamaan individu merupakan hasil pengkodisian yang berasal dari ajaran agamanya dalam jangka waktu tertentu Rusdi  (2012:5). Dengan demikian, spiritualitas yang merupakan dimensi intrinstik dari agama.

Bagi umat Islam, nilai-nilai spiritualitas bersumber dari teks-teks syar’i, al Qur’an dan Hadits. Keduanya telah memberikan petunjuk yang jelas dan komprehensif dan selaras dengan fitrah manusia.

1.     1. Nilai Spiritualitas Surat al-’Ashr

 

وَٱلۡعَصۡرِ (١) إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَفِى خُسۡرٍ (٢) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ (٣)

 

“Demi masa. (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, (2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (3)”

Salah satu nilai spiritualitas dalam surat al-‘Ashr adalah menghargai waktu dengan sebaik-baiknya. Waktu merupakan deposito yang paling berharga yang dianugrahkan oleh Allah secara gratis dan merata kepada setiap orang. Kaya atau miskin, bos atau karyawan, pejabat atau bawahan, penjahat atau orang baik. Masing-masing akan mendapatkan bagian waktu yang sama yaitu 24 jam atau 1.440 menit atau sama dengan 86.400 detik setiap hari. Yang membedakan adalah bagaimana mereka memanfaatkan deposito tersebut sebaik-baiknya, untuk amal kebaikan atau keburukan. Yang terpenting adalah adanya kesadaran bahwa waktu itu netral dan terus merayap dari detik ke detik dan setiap detik yang telah lewat, tidak akan mungkin dapat kembali. (Tasmara, 2002:73).


2.     2. Nilai Spiritualitas Surat al-Ikhlas

 قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ (١) ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ (٢) لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ (٣) وَلَمۡ يَكُن لَّهُ ۥ ڪُفُوًا أَحَدٌ (٤)

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, (1) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (2) Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, (3) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (4)

Keikhlasan menjadi salah satu kompetensi moral yang harus dimiliki oleh seseorang yang berbudaya kerja Islami. Ibarat sebuah pohon, dia merelakan buahnya yang manis dan menyegarkan dipetik dan dimikilik oleh siapapun. Menaungi siapapun yang berteduh dibawahnya, dan bahkan saat batangnya dipotong. Mujieb, dkk (2009: 181) menyebutkan 3 tingkatan ikhlas yaitu:

a.   Tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal dan tidak puas terhadap amal;

b.  Malu terdapat amal sambil tetap berusaha sekuat tenaga membenahi amal dengan tetap menjaga kesaksian dan memelihara cahaya taufik yang dipancarkan Allah;

c.  Memurnikan amal dengan membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum dan kehendak Allah serta terbebas dari makhluk.


3.     3. Nilai Spiritualitas Surat al-Fath ayat 10

إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَيۡدِيہِمۡ‌ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفۡسِهِۦ‌ۖ وَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِمَا عَـٰهَدَ عَلَيۡهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمً۬ا

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah [1]. Tangan Allah di atas tangan mereka [2], maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar. (10)

Ayat di atas mencerminkan tentang komitmen terhadap janji. Menurut Tasmara (2002:84) mengutip pendapat Daniel Goldman mengatakan bahwa orang yang berkomitmen adalah para warga suatu instansi teladan. Mereka bersedia menempuh perjalanan panjang. Seperti kerikil yang dilemparkan ke tengah kolam, orang yang berkomitmen menyabarkan riak-riak perasaan kebahagiaan ke seluruh lingkungan instansinya. Komitmennya yang sangat tinggi memungkinkan dirinya berjuang keras menghadapi tantangan dan tekanan yang bagi orang yang tidak memiliki komitmen dirasakannya sebagai beban berat dan menimbulkan stres. Orang yang memiliki komitmen tinggi kepada instansinya merupakan orang yang paling rendah tingkat stresnya dan mereka merupakan orang yang paling merasakan kepuasan dalam pekerjaannya tersebut.


4.     4. Nilai Spiritualitas Surat Al Mudatstsir Ayat 38

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

             “Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya”


Tanggung jawab muncul karena adanya sebuah amanah. Kata tanggung jawab, tersusun dari 2 kata, menanggung dan memberi jawaban. Dalam bahasa Inggris, terdapat kata responsibility = able to respone. Amanah merupakan tanggungan yang suatu saat akan diminta jawaban atas perlakuan kita terhadap amanah itu. Apakah kita melalaikannya, merawatnya, membiarkannya atau bahkan memanfaatkannya. Dalam hal apapun, baik harta, jabatan bahkan usia (hidup) harus dipersepsikan sebagai amanah. Sikap bertanggung jawab terhadap amanah, berkaitan erat dengan cara memegang teguh prinsip dan kemudian bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya tersebut dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai-nilai manfaat yang selaras dan harmonis. Bertanggung jawab atas amanah, merupakan ciri-ciri seorang yang profesional.



5.     5. Nilai Spiritualitas Surat al-Baqarah ayat 148

وَلِكُلٍّ۬ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيہَا‌ۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِ‌ۚ أَيۡنَ مَا تَكُونُواْ يَأۡتِ بِكُمُ ٱللَّهُ جَمِيعًا‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ قَدِيرٌ۬

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya [sendiri] yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu [dalam berbuat] kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian [pada hari kiamat]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Ayat di atas menunjukkan salah satu citra seorang muslim yaitu semangat berkompetisi dalam segala lapangan kebajikan dan meraih prestasi. Mana mungkin motivasi ini akan tumbuh jika tidak memiliki semangat dan gairah dalam bekerja, beraktifitas dan berjuang. Semangat berkompetisi ini menjadi cambuk untuk mengilangkan kelemahan dan kepasrahan pada nasib (fatalisme). Nasib bukanlah masalah kebetulan, tapi merupakan sesuatu yang harus dicapai dan diusahakan. Hal ini telah digariskan oleh Allah dalam surat an-Nisaa ayat 32:

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ۬ مِّمَّا ٱڪۡتَسَبُواْ‌ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌ۬ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَ‌ۚ 

“bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita [pun] ada bahagian dari apa yang mereka usahakan”.

Firman tersebut menginformasikan bahwa apa yang didapat oleh seseorang itu sesuai dengan usaha yang dilakukan. Semakin banyak kebajikan yang dilakukan, maka akan semakin banyak pula hasil yang ia dapatkan. Maka, berkompetisi dalam meraih prestasi mencitrakan seorang muslim yang pandai memaknai hidup.

 

6.     5. Nilai Spiritualitas Surat al-Baqarah ayat 267

 

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا ڪَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِ‌ۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بِـَٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِ‌ۚ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ

 

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah [di jalan Allah] sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”

Allah subhanahu wa ta’alaa memerintahkan kepada orang yang beriman untuk menginfakkan sebagian hasil usahanya dalam bentuk yang baik-baik. Hasil perkebunan, pertanian, perikanan, dan sebagainya dipilih yang baik-baik untuk diinfakkan di jalan Allah. Bukan sebaliknya, yang jelek-jelek dipisahkan dan diberikan kepada orang lain. Bagi aparat pemerintah, maka memberikan pelayanan yang baik (bahkan terbaik) kepada masyarakat atau mitra kerja yang berada dalam wilayah kerjanya merupakan implementasi dari ayat tersebut. Dan, balasan bagi mereka yang mampu menunjukkan kerja terbaiknya dengan penuh ikhlas, tidak lain adalah ridlo dan pahala dari Allah, yang akan dirasakan baik didunia maupun di akhirat.

Berdasarkan uraian surat dan ayat pilihan di atas, dapat diidentifikasi nilai-nilai spiritulitas Islam sebagai berikut:

  1. Menghargai Waktu
  2. Ikhlas
  3. Komitmen
  4. Tanggung Jawab
  5. Semangat Berkompetisi
  6. Layanan Prima

Nilai-nilai tersebut di atas memiliki keterkaitan dengan kondisi internal seseorang.  Maksudnya, masalah sikap mental adalah masalah nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri individu. Perkembangan sikap seseorang merupakan sesuatu yang historis. Maka, setiap orang, dalam hal ini adalah ASN, memiliki sikap yang berbeda. Terlebih lagi adanya faktor eksternal yang memiliki pengaruh cukup signifikan, misalnya pola interaksi sosial, gaya berinteraksi, tingkat penghasilan dan gaya hidup. Adakalanya, faktor-faktor eksternal tersebut secara perlahan mengubah individu menjadi cederung jauh dari kebajikan. Padahal secara fitrah, pribadi manusia itu baik dan cenderung kepada kebaikan. Oleh karena itu, upaya menyadarkan kembali pada seseorang perlu dilakukan secara kontinyu, salah satunya adalah dengan transformasi nilai-nilai spiritual. Dengan adanya kesadaran melalui transformasi nilai-nilai tersebut, maka akan menumbuhkan kesadaran spiritual accountibility, yang berarti bahwa tujuan hidup adalah Tuhan Yang Maha Pencipta dan bahwa hidup akan dimintai pertanggung jawaban.


Transformasi nilai spiritualitas dapat dicontohkan antara lain yaitu menghargai waktu. Bentuknya dapat diwujudkan dalam bentuk kedisiplinan. Misalnya, seorang ASN akan berusaha tepat waktu datang ke tempat kerja dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya selama di tempat kerja. Tentu, memanfaatkan di sini dalam pengertian memanfaatkan untuk kepentingan tugas jabatannya. Barangkali dapat dihubungkan dengan slogan “datang bersih, pulang bersih”. Dengan waktu yang tersedia, ia menyelesaikan seluruh pekerjaan yang ada di meja kerjanya, sehingga ketika jam pulang tidak meninggalkan pekerjaan di meja kerjanya.


Ikhlas menjadi kunci ketenangan batin. Orang yang ikhlas dalam beramal/ bekerja, tidak mengharapkan apapun selain kerelaan Allah. Setiap penghargaan dan pujian akan dikembali kepada pemilik pujian, yaitu Allah. Sedangkan setiap kritik atas hasil pekerjaa, akan dikembalikan untuk dirinya sendiri dan dijadikan bahan untuk perbaikan di masa yang akan datang. Jika nilai ini terinternalisasi dalam diri ASN, tentu sikap ambisius untuk mendapat sesuatu akan hilang dengan sendirinya.


Transformasi nilai spiritualitas komitmen. Seorang ASN tentu telah memiliki tugas jabatan, dan bekerja sesuai tugas jabatan tersebut. Namun dalam perjalananya, adakalanya ia memperoleh tugas-tugas baru diluar tugas jabatannya. Hal ini bisa menjadi ganjalan tersendiri, terlebih lagi jika tidak ada honornya. Dengan adanya kesungguhan dan komitmen sebagai seorang ASN, maka ia akan dengan ringan dan bahagia melaksanakan seluruh tugas itu. Karena ia menyadari, komitmen merupakan bagian dari implementasi ajaran agama.


Seorang ASN yang berhasil melakukan transformasi nilai-nilai spiritualitas dalam dirinya, maka dia menyadari bahwa posisi dan jabatan yang dimilikinya saat ini sebenarnya bukan milik dirinya, tapi milik Allah. Posisi dan jabatan tersebut merupakan amanah (tanggungan) yang suatu saat akan diminta oleh pemiliknya (pertanggungjawaban). Dengan demikian, maka di setiap aktifitasnya selalu tertanam mindset akuntabilitas.


Agama Islam mengajarkan bahwa setiap aktifitas akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, dalam menjalani kehidupan seorang muslim dituntut memiliki akuntabilitas. Dalam al-Qur’an terdapat nilai-nilai spiritualitas yang mendorong seorang muslim memiliki akuntabilitas. Antara lain; menghargai waktu, ikhlas, komitmen, tanggung jawab, semangat berkompetisi dan layanan prima. Nilai-nilai ini hendaknya ditransformasi dalam pribadi seorang muslim, terutama ASN, karena merupakan implementasi dari ajaran agama Islam. Dengan mentransformasi nilai-nilai spiritualitas ajaran agama Islam, maka akan terbentuk ASN yang sadar akuntabilitas.

 

DAFTAR REFERENSI

Al Quran dan Terjemah, Kementerian Agama

Dewi, E. (2012). Transformasi Sosial dan Nilai Agama. Jurnal Substansia, 113-114.

Mujieb, M. A., Ismail, A., & Syafi'ah. (2009). Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali. Jakarta: Hikmah.

Nurtjahjanti, H. (2010). Spiritualitas Kerja Sebagai Ekspresi Keinginan Diri Karyawan untuk Mencari Makna dan Tujuan Hidup dalam Organisasi. Jurnal Psikologi UNDIP, 27-30.

Randa, F., Triyuwono, T., & Ludigdo, U. (2011). Studi Etnografi Akuntabilitas Spiritual pada Organisasi Gereja Katolik Terinkulturasi Budaya. Jurnal Akuntansi.

Ratu, N. I., Ratnasari, M. M., & Putri, A. D. (2018). Kecerdasan Spiritual Memoderasi Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi pada Kinerja Penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKI). E-Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 57-86.

Rusdi, A. (2012). Agama, Spiritualitas dan Psikoterapi: Tinjauan Berbagai Paradigma , makalah. Jakarta: -.

Tasmara, T. (2002). Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani.

Widaningrum, A. (2006). Carl Gustav Jung, Teori Transformasi dan Relevansinya dalam Organsisi Birokrasi. Buletin Psikologi Vol. 14 No. 2 Desember , 69-78.

Yuesti, A. (2014). Aspek Spiritual, Manusia dan Lingkungan pada Akuntabilitas Non Governance Organization (Studi Kasus pada Yayasan Maha Bhoga Marga). Jurnal Manajemen & Akuntansi STIE Triatma Mulya. Vol. 20. No. 1, 56-72

Penulis : Achmad Subkhan (Widyaiswara BDK Semarang)

Editor : Fandy Akhmad

Sumber :


Berita Terkait

Tidak ada berita terkait

ARSIP