Top
   
(024) 7472551

ADAB PENDIDIK DALAM KITAB ADAB AL-‘ALIM WA AL-MUTA’ALLIM KARYA KH. HASYIM ASY’ARI

Senin, 19 April 2021
Kategori: Artikel Ilmiah
32344 kali dibaca

Sekilas Biografi Pengarang Kitab

Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari. KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh dan pahlawan kemerdekaan. Beliau ada pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama. Kehidupannya dapat digambarkan secara sederhana dengan ungkapan “dari pesantren ke pesantren”. Beliau dibesarkan di lingkungan pesantren. Selama 7 tahun di Makkah untuk melakukan ibadah haji dan belajar di ribath –semacam pesantren.

Muhammad Hasyim adalah nama yang diberikan oleh ayahnyapada saat dilahirkan. Keluarganya merupakan kalangan elit kyai Jawa. Lahir pada  18 Pebruari 1871 di Desa Gedang, yang berjarak kurang lebih 2 kilo meter dari Jombang. Ayahnya, Asy’ari, adalah pendiri pesantren Keras Jombang. Sementara kakeknya, Kyai Usman adalah pendiri pesantren terkenal di Gedang. Selain itu, moyangnya, Kyai Sihah adalah pendiri pesantren Tambakberas Jombang.

Selepas pulang dari perjalanan ilmiah menuntut ilmu diberbagai pondok pesantren di Jawa, antara lain pernah menjadi santri KH. Sholeh Darat, pada tahun 1899 KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang terletak di Cukir, Duwek Kabupaten Jombang. Pada masa itu daerah ini terkenal dengan perilaku negative seperti prostitusi, perjudian, perampok, begal dan sejenisnya. Tentu, pada awal pendirian pondok, beliau mendapatkan sambutan yang tidak menyenangkan bahkan menerima banyak intimidasi dan terror. Namun demikian, dengan kesabarannya, beliau dan para santri akhirnya diterima oleh masyarakat bahkan mereka ikut menjadi santrinya. Sebagai buah dari hasil hasil kerja kerasnya, secara bertahap prilaku negate di daerah tersebut terkikis habis.

Kyai Khalil Bangkalan merupakan guru KH. Hasyim Asy’ari yang sangat dihormatinya. Kyai Khalil merupakan ulama terkenal di Jawa dan Madura pada akhir abad 19 sampai akhir abad ke-20.  Kyai Khalil sudah mengetahui potensi KH. Hasyim ‘Asy’ari yang akan menjadi tokoh besar. Karena itu, beliau juga menunjukan rasa hormat dengan jalan sekali-kali mengikuti pengajian yang diselenggarakan oleh KH. Hasyim ‘Asy’ari.

Pada periode itu, di Saudi Arabia muncul Muhammad Ibn Abdul Wahab. Ajaran yang dibawa olehnya adalah gerakan pemurnian/ purifikasi ajaran Islam (puritan). Kelak, darinya  muncul gerakan Wahabiyah. Akibat adanya paham puritan wahabi tersebut, banyak situs-situs sejarah Islam yang berada di Arab Saudi dihancurkan. Bahkan puncaknya, kerajaan Arab Saudi yang telah bersekutu dengan Wahabi akan memindahkan makam Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Mengetahui ancaman ini, KH. Hasyim ‘Asy’ari kemudian mengirim utusan yang dikenal dengan komite Hijaz, yang membawa misi protes atas nama umat Islam Nusantara terkait rencana pembongkaran makan Nabi Muhammad.

Atas restu gurunya, KH. Kholil Bangkalan, pada tahun 1926 KH. Hasyim ‘Asy’ari bersama ulama besar lainnya yaitu KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisyri Syansuri, mendirikan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama). Dikisahkan, saat beliau resah mengenai rencana untuk mendirikan organisasi untuk mewadahi para ulama, KH. Kholil dapat ikut merasakan kondisi itu. Kemudian,  KH. Kholil mengutus KH. As’ad Syamsul Arifin (murid KH. Kholil) membawa tongkat untuk diserahkan kepada KH. Hasyim Asy’ari seraya membacakan Surat Thoha ayat 17-23 dan dzikir asmaul husnaYaa Jabbar Yaa Qohhar”.

Peran KH. Hasyim Asy’ari dalam organisasi Islam pertama di Indonesia adalah sebagai ketua Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI). MIAI didirikan pada tahun 1937 yang mewadahi seluruh ormas Islam yang ada. MIAI menjadi badan yang mewakili seluruh umat Islam Indonesia, terutama sikapnya dalam menghadapi penjajah Belanda dan Jepang. Di antara sikap organisasi MIAI terhadap penjajah Belanja adalah menolak Undang-Undang Perkawinan.

KH. Hasyim Asy’ari merupakan pahlawan kemerdekaan. Beliau ikut berperang dalam 2 jaman penjajahan, yaitu pada masa penjajahan Belanda dan Penjajah Jepang. Bahkan, beliau pernah ditangkap, dipenjara dan disiksa oleh penjajah Jepang. Sebagai tokoh sentral rujukan para ulama, melalui fatwa-fatwanya, beliau menegaskan pentingnya kemerdekaan dan menjaga negari. Resolusi Jihad menjadi fatwa terpenting mempertahankan kemerdekaan bangsa, sebelum akhirnya beliau meninggal dunia.

KH. Hasyim ‘Asy’ari termasuk ulama yang produktif menulis. Di antara karya-karya beliau yaitu:

  1. Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim;
  2. Risalah Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah fi Bayani al-Masamah bi Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah;
  3. At-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqotho’ati al-Arham wa al-Ikhwan;
  4. Muqodimah al-Qonun al-Asasi li Jam’iyyah Nahdloti al-‘Ulama;
  5. Risalah fi Ta’kidi al-Akhdzi bi Madzahib al-Aimmah al-Arba’ah;
  6. Risalah Tusamma bi al-Mawa’idz;
  7. Al-Arba’in Haditsan Nabawiyan Tata’allaqu bi Mabadi’i li Jam’iyyah Nahdlati al-Ulama;
  8. An-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyidi al-Mursalin;
  9. Ziyadatu at-Ta’liqat ‘ala Mandhumati asy-Syaikh ‘Abdullah Yasin al-Fasyuruwani;
  10. Tambihat al-Wajibat liman Yashna’u al-Maulid bi al-Munkarot;
  11. Dhau al-Mishbah fi Bayani Ahkam an-Nikah;
  12. Mafatih al-Falah fi Ahadits an-Nikah;
  13. Audhah al-Bayan fi ma Yata’allaqu bi Wadzaifi Romadlon;
  14. Abyanu an-Nidham fi Bayani ma Yu’maru bihi au Yanha ‘anhu min anwa’i as-Shiyam;
  15. Ahsan al-Kalam fi ma Yata’allaqu bi sya’ni al-“Idi min al-Fadhoil wa al-Ahkam;

 

Adab Seorang Pendidik (‘Alim) dalam Kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim

Seorang pendidik tidak terlepas dari aktifitas pembelajaran. Pembelajaran merupakan aktifitas keilmuan. Allah adalah sumber dari segala ilmu. Di dalam surat at-Kahfi ayat 109 Allah berfirman:

قُل لَّوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِّكَلِمَاتِ رَبِّي لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَن تَنفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّي وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا

“katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”

Betapa luas ilmu Allah, sehingga tak akan mungkin manusia menggapainya. Ilmu adalah cahaya. Karena itu, ilmu tidak akan melekat dan masuk kecuali kepada hati dan pikiran yang bersih, jernih dan bercahaya. Oleh karena aktifitas pembelajaran merupakan aktifitas keilmuan, maka hendakya setiap individu yang terlibat di dalamnya memiliki hati dan pikiran yang bersih, diliputi cahaya.

Terdapat ulasan mengenai adab seorang pendidik dalam Kitab ‘Adabu al-‘Alim wa al-Muta’allim, yaitu:

1. Apabila seorang pendidik hendak melakukan aktifitas pembelajaran di dalam suatu majlis, hendaknya ia suci dari hadast dan najis, tampil bersih, menggunakan wewangian, memakai pakaian yang bagus. Hal itu semua dimaksudkan untuk menghormati ilmu dan memelihara syari’at seraya meniatkan diri untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menyebarkan ilmu dan menghidupkan agama Islam;

2. Jika keluar rumah, hendaknya seorang Pendidik berdoa sesuai tuntunan Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, yaitu:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَىَّ

" aku berlindung kepada Allah dari tersesat dan disesatkan, dari tergelincir dan digelincirkan, dari kedzaliman dan didzalimi, dari kebodohan dan dibodohi yang membahayakan diriku"

3. Kemudian, apabila seorang pendidik telah sampai di majlis yang dituju, hendaknya mengucapkan salam kepada para hadirin dan kalau memungkinkan duduklah menghadap ke kiblat. Duduklah dengan wibawa, tenang, sikap tawadlu’, khusyu’. Di samping itu, sebisa mungkin hidarkan dari berdesakan dan memainkan kedua tangan. Pandangan mata terjaga dari sesuatu yang tidak perlu;

4. Hendaknya mengambil tempat duduk yang dapat dilihat oleh hadirin seraya memberikan penghormatan kepada mereka yang memiliki keutaman ilmu, usia, kesalehan dan kemulyaan di antara para hadirin itu. Pendidik juga lebih mengutamakan mereka yang lebih utama itu sebagai imam sholat, dan Pendidik tetap bersikap lemah lembut dan hormat kepada selainnya.

5. Memulai aktifitas pembelajaran dengan membaca al-Qur’an dengan tujuan untuk menggapai berkah darinya, dilanjutkan dengan membaca do’a bagi dirinya, hadirin dan seluruh umat Islam, bagi orang yang mewakafkan tempat kajian/ majlis tersebut. Kemudian membaca ta’awudz, basmillah dan kalimat pujian kepada Allah, disambung dengan bacaan sholawat  kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam.

6. Dalam berbicara, seorang pendidik tidak perlu mengangkat suara berlebihan jika tidak ada keperluan untuk itu. Demikian juga, jangan bersuara terlalu rendah yang mengakibatkan apa yang disampaikan tidak menghasilkan faedah apapun. Adapun yang lebih utama adalah ukuran tinggi suara Pendidik tidak sampai keluar/ melewati batas majlis/ ruang pembelajaran dan tidak terlalu dekat dengan pendengaran hadirin.

7. Agar proses pembelajaran berjalan dengan baik, maka hindari suasana ramai dalam ruang pembelajaran. Karena dapat menyebabkan perubahan lafadz yang didengar oleh hadirin. Demikian juga hindari mengeraskan suara dan perbedaan arah pembahasan (fokus).

8. Pendidik perlu mengingatkan kepada para hadiri mengenai makruhnya perdebatan, apalagi terhadap suatu kebenaran yang telah jelas. Tujuan adanya perkumpulan/ kajian bersama adalah untuk mendapatkan kebenaran, membersihkan hati dan mencari faedah. Tidak layah bagi seorang pendidik membiarkan perdebatan yang berlarut-larut dalam suatu pertemuan karena hal itu dapat menyebabkan permusuhan dan saling membenci. Adapun tujuan adanya kajian adalah murni karena Allah.

9. Seorang pendidik bersungguh-sungguh menghidari membahas sesuatu secara berlebihan. Juga menghidari jangan sampai ada orang yang ngotot atau beradab buruk dalam membahas. Hindari juga terlalu banyak cerita yang tidak ada faedahnya. Pendidik juga tidak boleh merasa paling tinggi jika di antara hadirin ada orang yang lebih mulia. Perbuatan menghina/ mem-bully salah seorang hadirin juga perlu dihindari.

10. Pendidik memiliki kejujuran ilmiah. Bagaimana implementasinya? Jika ditanya mengenai sesuatu yang belum tahu jawabannya, maka jawablah “aku belum tahu” atau “aku tidak tahu”.

Kejujuran ilmiah dimanifestasikan dalam bentuk kesadaran bahwa seseorang memiliki keterbatasan ilmu dan pengetahuan serta dengan jujur mengungkapkan apa yang belum diketahuinya (Syihab, 2007:349). Kejujuran ilmiah adalah sikap utuh apa adanya dalam diri pribadi seseorang (kesadaran diri) untuk merespon suatu pertanyaan, pernyataan, informasi dan ilmu pengetahuan. Kesadaran atas keterbatasan diri tersebut melahirkan sikap jujur menjawab/ merespon suatu pertanyaan dan rasa ingin tahu asal muasal suatu informasi dan pengetahuan. Terlebih lagi jika informasi dan pengetahuan itu merupakan sesuatu yang fundamental menyangkut kehidupan dirinya dan agamanya. Sehingga akan menggerakkan semangat untuk memperolehnya dan rela berkorban secara fisik maupun materi.

Seseorang yang memiliki kejujuran ilmiah, ia akan mengatakan ”saya tidak tahu” bila ada suatu pertanyaan yang memang ia tidak tahu jawabanya. Atau ia akan merasa belum puas, jika suatu ilmu atau informasi yang diterimanya bukan berasal dari sumber aslinya, atau minimal dari sumber terdekat. Kejujuran ilmiah tercermin dari sikap para periwayat hadits misalnya sebagaimana diriwayatkan dari Abdul ’Aliyah yang berkata:

”Kami pernah mendengar riwayat dari para sahabat Rasulullah di Basrah. Tetapi masih kurang puas sebelum ke Madinah dan mendengar sendiri dari mulut mereka”. Al Baghdadi (1996:168).

Riwayat tentang Imam Malik -salah seorang muhaddits (ahli hadits)- juga menjadi salah satu contoh kejujuran ilmiah yang patut menjadi teladan. Imam Malik pernah ditanya 48 permasalahan, namun hanyak 2 (dua) yang beliau jawab. Sedangkan 30 masalah lainnya beliau jawab ”aku tidak tahu” (al-Baghdadi, 1996:2/170).

11. Bisa jadi pada saat proses pembelajaran/ kajian, ada orang asing yang datang. Maka, sikap seorang pendidik menampakkan rasa kasih sayang kepadanya agar hatinya juga merasa senang dan nyaman.

Menjadi pendidik bukan hal yang mudah. Meskipun ia memiliki akal yang cerdas, pandai dan menguasai banyak bidang ilmu. Namun demikian, semua itu tidak bermakna apabila tidak disertai dengan adab. Dalam tradisi pesantren ada adagium:

الاداب قبل العلم

“Adab/ Akhlak itu lebih didahulukan daripada ilmu”

 

Daftar Referensi

Al Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama.

Asy’ari, Hasyim. (1994). Adab at-Ta’lim wa al-Muta’allim. Jombang: Maktabah Turost al Islamy.

Al-Baghdadi, al-Khatib. (1996). Al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa Adabi as-Sami’. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah.

Khuluq, Lathiful. (2008). Fajar Kebangkitan Ulama Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS.

Syihab, Quraish. (2006). Tafsir al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

Tidak ada berita terkait

ARSIP