ETIKA BERMEDIA DIGITAL (DIGITAL ETHICS)
Perspektif al-Qur’an Surat al Isra ayat 36
Oleh Achmad Subkhan, SHI., MSI.
Widyaiswara Ahli Madya BDK Semarang
PENDAHULUAN
Era digital telah mengubah sebagian besar aktifitas konvensional umat manusia. Di era ini, orang dapat berbelanja tanpa harus keluar rumah menuju toko atau pasar. Juga dapat berganti kendaraan tiap hari dengan merk yang berbeda dan sopirnya, tanpa harus mengeluarkan biaya pemeliharaan mobil dan bayar pajak kendaraan bermotor. Demikian pula dalam hal transaksi keuangan, dapat dilakukan tanpa harus ke kantor Bank. Dan masih banyak lagi, aktifitas dasar kehidupan manusia telah difasilitasi oleh teknologi digital.
Sejalan dengan hal di atas, pesatnya arus informasi dapat diperoleh seseorang secara real time. Demikian juga dalam hal sistem komunikasi, media pertemanan (media sosial) yang semakin luas, setiap orang yang memiliki peralatan yang mendukung dan terkoneksi dengan internet, dapat berkomunikasi dengan siapapun, secara cepat mudah melalui berbagai moda berupa teks, audio maupun video.
Lingkungan digital saat ini telah menjadi bagian hidup manusia. Hampir setiap orang memiliki gawai untuk mendukung aktifitas digital mereka. Lingkungan digital telah berubah menjadi dunia kedua bagi manusia, yaitu dunia maya. Dalam dunia nyata, setiap orang terikat oleh etika maupun norma yang berlaku di lingkungan menjadi warganya. Etika dan norma merupakan pedoman bagi penghuninya untuk menciptakan lingkungan hidup yang harmonis. Demikian juga dalam dunia maya, etika dan norma (digital ethics) pemanfaatan teknologi digital merupakan keniscayaan yang harus dimiliki setiap orang.agar tercipta dunia maya yang sehat dan harmonis.
Sebagaimana kita yakini bahwa Islam telah memberikan petunjuk bagi manusia untuk menciptakan harmoni kehidupan. Hal ini dapat diketahui secara tersurat dan tersirat dalam al-Qur’an maupun hadits. Artikel ini menganalisis digital ethics (etika digital) dalam perspektif al-Qur’an.
PEMBAHASAN
Transformasi digital menjadikan informasi, komputasi, komunikasi, dan konektivitas melimpah tersedia untuk kemudian dikolaborasikan dalam berbagai bentuk oleh aktor yang berbeda-beda. Realitas ini memiliki potensi yang luar biasa yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang (Vial 2019).
Percepatan transformasi digital di Indonesia didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Berdasarkan keterangan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia, jaringan kabel serat optik sepanjang 342.000 kilometer di darat dan laut telah dibangun atas kerja sama antara pemerintah Indonesia dan perusahaan telekomunikasi. Jaringan ini merupakan tulang punggung atau backbone konektivitas teknologi informasi dan komunikasi. Di samping itu, ada lebih dari 12.000 kilometer dibangun di bawah proyek nasional jaringan Palapa Ring. Upaya pemerataan pembangunan infrastruktur digital juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dengan menggelar jaringan serat optik backbone, pengembangan jaringan fiber-link dan microwave-link, peluncuran 9 satelit telekomunikasi, dan pembangunan stasiun pemancar sinyal (Amelia, 2021)
Sektor ekonomi juga menjadi sasaran prioritas percepatan transformasi digital. Sebab, perubahan model usaha, peningkatan peluang yang menghasilkan nilai tambah, serta perubahan pola pikir bisnis secara lintas sektoral berbasis digital, hal-hal tersebut dapat memanfaatkan transformasi digital.
Secara nasional, transformasi digital telah menjadi kebutuhan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu diberi wawasan yang memadai mengenai penggunaan teknologi digital melalui literasi digital.
Literasi Digital
Konsep literasi digital dapat ditelusuri seiring dengan dengan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Menurut Buckingham (2010) bahwa literasi digital lebih dari sekadar masalah fungsional belajar bagaimana menggunakan komputer dan keyboard, atau cara melakukan pencarian secara daring. Literasi digital juga mengacu pada mengajukan pertanyaan tentang sumber informasi, kepentingan produsennya, dan cara-cara di mana ia merepresentasikan realitas di dunia, dan memahami bagaimana perkembangan teknologi ini terkait dengan kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Adapun menurut Gilster (1997) literasi digital mengacu kepada kemampuan untuk memahami, mengevaluasi dan mengintegrasi ke dalam berbagai format (multiple formats) dalam bentuk digital. Titik berat dari literasi digital adalah untuk mengevaluasi dan menginterpretasi informasi yang ada. Berdasarkan kedua konsep tersebut, menurut Amelia (2021) literasi digital dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) kompetensi, yaitu; digital ethics (etis bermedia digital), digital safety (keamanan bermedia digital), digital skill (kecakapan bermedia digital), dan digital culture (budaya bermedia digital).
Adapun dalam artikel ini, penulis membatasi pada 1 (satu) kompetensi yaitu etika bermedia digital, dengan pertimbangan; 1) atika/ etis merupakan aspek fundamental yang harus dimiliki oleh pengguna media digital. 2) pembahasan lebih mendalam menurut perspektif al-Qur’an.
Urgensi Etika Bermedia Digital
Etika yang dimaksud dalam artikel ini berkaitan dengan etis, tata krama, kepatutan dan akhlak yang dimiliki manusia sebagai bekal untuk mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis. Tentang manusia, Prof. Said Aqil Siraj pernah menjelaskan tentang asal usul kata manusia (lebih lanjut dapat disimak melalui youtube). Menurutnya, manusia dalam bahasa arab إنسان (insaan), berbentuk kata benda. Bentuk kata kerjanya أنس (aanas), sedangkan bentuk kata sifatnya (adjective), أَنِيسٌ (aniis) untuk gender mudzakar (laki-laki) dan أَنِيسَة (aniisah) untuk gender muannats (perempuan). Adapun artinya antara lain; harmoni, akur, akrab, ramah, saling menyenangkan.
Seandainya manusia dalam menjalani kehidupannya sejalan dengan arti kata tersebut, maka akan terwujud kehidupan yang akur, harmoni, akrab, ramah, dan saling menyenangkan. Namun yang terjadi sebaliknya. Kehidupan manusia sangat dinamis, ada perselisihan, pertengkaran, konflik, kesalahpahaman berujung permusuhan dan dinamika tidak produktif lainnya, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Dan di antara penyebabnya yaitu persoalan etika.
Penggunaan internet, terutama dalam bermedia sosial, yang dilakukan tanpa etika tentu dapat menimbulkan kerusakan pada diri sendiri maupun masyarakat, yang pada akhirnya akan menyebabkan kerusakan pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Indonesia merupakan negara dengan paling banyak di dunia. Namun dalam hal Indeks Keadaban Digital (Digital Civility Index/DCI) yang dirilis oleh Microsoft pada tahun 2020, netizen Indonesia mendapatkan penilaian tingkat kesopanan pengguna internet dan menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Artinya, netizen Indonesia merupakan penggguna internet paling tidak sopan se-Asia Tenggara (https://www.kemenkopmk.go.id).
Konsekuensi ketidaksopanan dalam bermedia digital, terutama dalam bermedia soaial, banyak unggahan-unggahan (posting) yang dibuat oleh pengguna media sosial berujung pada masalah hukum (https://www.liputan6.com). Karenanya, berkaca pada kasus-kasus hukum yang disebabkan oleh unggahan di media sosial, di sinilah urgensi etika bermedia digital perlu ditanamkan pada setiap individu, agar tercipta keadaban bermedia digital.
Etika Bermedia Digital dalam Perspektif Al-Quran
Bagaiman seharusnya kita menyikapi media digital, terutama berkaitan dengan informasi yang kita terima melalui media sosial? Di dalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang dapat kita pedomani, yaitu surat al Isra: 36.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا
“Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”
Mari kita cermati “janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui”. Seringkali, kita mendapatkan suatu informasi di media sosial unggahan (posting) yang membuat kita terpukau, tertarik, sangat berkesan dan bisa jadi kita percaya begitu saja. Informasi tersebut sangat bombastis dan menimbulkan wow effect. Padahal kita tidak tahu sama-sekali kebenarannya. Informasi tersebut belum tentu dapat dipertanggung jawabkan secara pasti dalam hal pernyataan siapa, rujukannya apa dan konten atau isi. Kemudian, kita yang tidak memiliki pengetahuan tentang kebenaran dan validitas informasi tersebut, terprovokasi untuk turut menyebarkannya ke group-group media sosial lainnya yang kita ikuti. Hal ini, kalau merujuk pada ayat di atas, maka apa yang kita lakukan merupakan kesalahan.
Quraish Syihab menafsirkan kalimat وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ, dengan makna “janganlah kamu bersikap untuk sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya”. Berdasarkan pemaknaan ini, maka sikap terbaik yang bisa dilakukan ketika mendapatkan informasi atau menjumpai suatu keadaan yang kita tidak memiliki bekal pengetahun yang memadai tentangnya adalah tidak perlu responsif, baik kata maupun perbuatan. Dan benar, tidak jarang, orang yang mudah responsif atas sesuatu, pada akhirnya mengalami penyesalan. Sebagaimana perkataan bijak sahabat Umar ibn Khaththab “aku tidak pernah sekalipun menyesali diamku, tetapi aku berkali-kali menyesali bicaraku." Setiap aktifitas yang kita lakukan dalam media digital, pada akhirnya kelak akan dimintai pertanggung jawaban. Tidak terbatas pada ucapan saja, namun juga tulisan, gambar maupun video. Dalam kajian fiqh terdapat kaidah الكتابُ كالخطاب “tulisan sama dengan ucapan”.
Petunjuk al-Qur’an dalam surat al Isra: 36 menjadi pedoman etika dalam bermedia digital, terutama media sosial. Janganlah mudah bersikap atas informasi yang kita peroleh atau fenomena yang kita hadapi.
1. Jika ingin bersikap, carilah pengetahuan informasi tersebut memadai, sehingga memiliki pemahaman yang mendalam;
2. Berbekal pengetahuan dan pemahaman yang mendalam, tunjukan sikap atau komentar yang positif, solutif dan konstruktif. Dan jauhkan diri dari sikap buruk dan komentar yang dapat memicu kegaduhan dan kerusakan;
3. Saringlah terlebih dahulu informasi tersebut, sebelum sharing (dibagikan) kepada pihak lain;
4. Jika berdasarkan pelacakan dan pengetahuan kita meyakini bahwa informasi yang kita terima adalah palsu (hoaxs), ingatkan pengunggah informasi tersebut, dan minta supaya menghapusnya.
5. Sebelum menanggapi, berhentilah sejenak dan berpikir, dan tidak mengunggah atau mengirim apa pun yang dapat berpotensi menyakiti orang lain, merusak reputasi seseorang, menimbulkan kegaduhan, atau mengancam keselamatan.
PENUTUP
Dampak merusak media digital dapat diminimalisasi jika keadaban bermedia digital terbangun. Untuk membangun keadaban media digital, memerlukan fondasi yang kokoh yang tertanam di setiap individu pengguna, yaitu fondasi etika bermedia digital. Di dalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang dapat dipedomani sebagai etika bermedia digital, terutama bermedia sosial. Informasi dan fenomena yang tersebar di media sosial sangat banyak, ada yang diketahui kebenarannya ada yang palsu. Oleh karena itu, janganlah mudah bersikap dan mengikuti sesuatu yang tidak diketahui. Berbekal pengetahuan dan pemahaman yang mendalam, tunjukan sikap atau komentar yang positif, solutif dan membangun kemaslahatan. Dan jauhkan diri dari sikap buruk dan komentar yang dapat memicu kegaduhan dan kerusakan.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Amelia, Rizki. (2021) Modul SMART ASN. Jakarta: LAN.
Vial, G. (2019). Understanding digital transformation: A review and a research agenda. The Journal of Strategic Information Systems, (), S0963868717302196–. doi:10.1016/j.jsis.2019.01.003
https://www.kemenkopmk.go.id/bangun-keadaban-digital-melalui-keluarga
https://www.liputan6.com/news/read/3029350/5-status-di-media-sosial-berujung-pidana
https://news.microsoft.com/id-id/2021/02/11/studi-terbaru-dari-microsoft-menunjukkan-peningkatan-digital-civility-keadaban-digital-di-seluruh-kawasan-asia-pacific-selama-masa-pandemi
Pic : Telkom University
Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI.
Editor : Tim Publikasi BDK Semarang
Sumber :
Tidak ada berita terkait