ISLAM WASATHIYAH
(Pengayaan Materi Pendidikan Agama Islam)
Oleh Achmad Subkhan, SHI., MSI
Widyaiswara Ahli Madya BDK Semarang
Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi, mengambil jalan tengah, melalui perkataan dan tindakan telah menjadi kebutuhan seluruh umat manusia di muka bumi. Buktinya, Perserikatan Bangsa Bangsa telah menetapkan tahun 2019 ini sebagai “Tahun Moderasi Internasional” (The International Year of Moderation).
Pada tahun 2019, Menteri Agama Republik Indonesia Lukman Hakim Saifudin turut serta menggaungkan Moderasi Beragama di Indonesia. Gema moderasi beragama ini diharapkan menyentuh ke seluruh lapisan dan elemen masyarakat. Di perkotaan, perdesaan, perkantoran, dunia kerja, dunia pendidikan mulai tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, tempat-tempat ibadah, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, lembaga-lembaga pemerintah dan sebagainya. Wal hasil, setelah gema bergaung dan seluruh warna negara memahami moderasi beragama serta mengimplementasikannya Negara Indonesia menjadi negara yang warganya beragama secara moderat.
Moderasi beragama mengandung seruan agar agama tidak dijadikan sebagai alat untuk mendegradasi manusia dan kemanusiaan. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dari makhluk lainnya, baik secara fisik maupun non fisik. Ini berarti bahwa dalam memahami agama, jangan sampai seorang individu menjadi kesempurnaannya menjadi berkurang yang disebabkan kesalahan dalam memahami ajaran agamanya. Juga bahwa seluruh manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang Esa. Setiap manusia telah membawa takdirnya masing-masing yang dimanifestasikan dalam wujud perbedaan-perbedaan, baik perbedaan suku, ras, warna kulit, bahasa, budaya, bangsa, maupun agama. Namun demikian, mereka semua adalah sesama manusia. Maka, pemahaman agama yang benar akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa sekalipun mereka bukan saudara sebangsa, bukan saudara seagama, tetapi mereka adalah sasama saudara dalam kemanusiaan.
Memahami Islam Wasathiyah
Allah Swt. berfirman dalam surat al-Baqoroh ayat 143:
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”.
Dalam ayat tersebut terdapat kata wasath yang berarti pertengahan. Inilah ayat yang menjadi pijakan bahwa sesungguhnya ajaran Islam merupakan ajaran yang wasath. Dengan demikian, maka umat Islam, seyogyanya menjadi umat yang wasath.
Bagaimana para ulama menafsirkan kalimat ummatan wasathon dalam ayat di atas? Berikut ini kutipan beberapa pendapat ulama tafsir:
1. As-Suyuthi (2011:348-9) mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id, Abu Hurairoh, Ibnu ‘Abbas bawah yang dimaksud dengan ummatan wasathon yaitu umat yang adil.
2. Abu Hayyan al Andalusi (2010:595) mengutip beberapa pendapat, antara lain ummatan wasathon ditafsirkan sebagai umat yang adil (‘Udul), sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi Saw. Ada juga yang menafsirkan sebagai umat terpilih. Kemudian, ditafsirkan sebagai umat yang ada ditengah-tengah dalam beragama, di antara kelompok yang ekstrim (berlebihan) dan kelompok yang suka mengurangi (mengabaikan/simplifikasi) dalam beragama.
3. Ibnu Kastir (1997: Juz 1, 454) menafsirkan kalimat ummatan wasathon dengan makna umat terpilih dan umat terbaik.
4. Amin Harori (2001: Juz 3, 11) menafsirkan kalimat ummatan wasathon dengan makna umat terpilih, adil dan terpuji karena ilmu dan amalnya.
Berdasarkan ketiga penafsiran tentang kalimat ummatan wasathon di atas, menunjukan kepada kita sebagai umat Islam, bahwa umat Islam merupakan umat pilihan, umat yang adil dan umat yang berada di tengah-tengah di antara prilaku beragama yang ekstrim. Dalam bahasa modern, ummatan wasathon diistilahkan dengan umat moderat.
Islam Wasathiyah, sering diterjemahkan sebagai ‘justly - balanced Islam’, ‘ the middlepath’ atau ‘the middle way’ Islam, di mana Islam berfungsi memediasi dan sebagai penyeimbang. Istilah-istilah ini menunjukkan pentingnya keadilan dan keseimbangan serta jalan tengah untuk tidak terjebak pada ekstremitas dalam beragama. Sebutan umat Islam sebagai ummatan wasathan itu adalah sebuah harapan agar mereka bisa tampil menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat.
Merujuk pada penafsiran al-Amin Harori di atas, maka agar dapat bersikap wasath memerlukan modal ilmu pengetahuan yang memadai dan amal yang terpuji (akhlak). Hal ini diperlukan agar umat Islam tidak terjebak kepada dua sikap ekstrim yaitu terlalu tekstualis (sebagian kalangan menyebutnya sebagai konservatif) dan liberal. Maksudnya, di satu pihak ada yang terlalu tekstual dalam memahami ayat-ayat suci disertai fanatisme berlebihan yang akhirnya mengarah pada gaya beragama yang ekslusivis, pemahaman yang ekstrim, sehingga dapat menjadi benih terorisme. Di pihak lain, ada yang secara liberal dan kebablasan menafsirkan ayat-ayat suci, sehingga tidak bisa lagi membedakan antara wahyu (ayat suci) dan yang bukan.
Implementasi Islam Wasathiyah
Pada bagian sebelumnya, telah disinggung bahwa seorang muslim dapat bersikap moderat dalam beragama jika memiliki 2 modal, yaitu ilmu dan akhlak. Adapun implementasi Islam Wasathiyah sebagai berikut:
Pertama at-tasamuh atau toleransi, yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Tasamuh harus diterapkan secara proporsional, terukur dan tidak mencederai aqidah. Tasamuh adalah memberi ruang kapada orang lain untuk melaksanakan keyakinannya tanpa harus terlibat untuk membenarkan keyakinan mereka. Tasamuh merupakan bentuk nyata dari akhlak mulia yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Firman Allah dalam QS. al-Kafirun (109):6.
Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS al-Hadid: 25).
Ketiga al-i'tidal atau tegak lurus. Sikap i'tidal mencerminkan karakter muslim yang ideal, yaitu mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, berbuat adil, dan menjaga keseimbangan. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS al-Maidah: 8)
Penguatan Sikap Moderat dalam Beragama
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ
Artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (QS. al-Anbiya, 21: 107)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ ؛ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ
Artinya: “Wahai manusia, jauhilah berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya yang menghancurkan orang-orang sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.” (HR Ibnu Majah)
أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْــــــفِيَّةُ السَّـــمْحَةُ
Artinya: “Agama yang paling dicintai Allah adalah agama yang lurus dan toleran.” (HR Bukhari)
Imam al-Ghozali Kitab Bidayatul Hidayah berkata:
ولا تقطع بشهادتك على أحد من أهل القبلة بشرك أو كفر أو نفاق؛ فإن المطلع على السرائر هو الله تعالى، فلا تدخل بين العباد وبين الله تعالى، واعلم أنك يوم القيامة لا يقال لك: لِم لمَ تلعن فلانا، ولم سكت عنه؟ بل لو لم تعلن ابليس طول عمرك، ولم تشغل لسانك بذكره لم تسأل عنه ولم تطالب به يوم القيامة. وإذا لعنت أحدا من خلق الله تعالى طولبت به،
Artinya: “Janganlah engkau memvonis syirik, kafir atau munafik kepada seseorang ahli kiblat (orang Islam). Karena yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam hati manusia hanyalah Allah SWT. Jangan pula engkau ikut campur dalam urusan hamba-hamba Allah dengan Allah SWT. Ketahuilah, bahwa pada hari kiamat kelak engkau tidak akan ditanya : ‘mengapa engkau tidak mau mengutuk si Anu? Mengapa engkau diam saja tentang dia?’ Bahkan seandainya pun kau tidak pernah mengutuk Iblis sepanjang hidupmu, dan tidak menyebutnya sekalipun, engkau pun tidak akan ditanyai dan tidak akan dituntut oleh Allah nanti di hari kiamat. Tetapi jika kau pernah mengutuk seseorang makhluk Allah, kelak kau akan dituntut (pertanggungjawabannya oleh Allah SWT)”.
Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syaikh, Syarah ‘Aqidah Tohawiyah, juz 2, hlm. 641
لا تنزّل أحدا منهم جنّة ولا نارا, ولا نشهد عليهم بكفر ولا شرك ولا بنفاق مالم يظهر منهم شيء من ذلك ونذر سرائرهم الى الله تعالى
Artinya: “Kami tidak memastikan salah seorang dari mereka masuk surga atau neraka. Kami tidak pula menyatakan mereka sebagai orang kafir, musyrik atau munafik selama tidak tampak lahiriah mereka seperti itu. Kami menyerahkan urusan hati mereka kepada Allah ta’ala”
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Said Aqil Siraj mengatakan bahwa Islam agama moderat. Umat Islam umat yang moderat. Untuk menjadi moderat, dibutuhkan intelektualitas, ilmu pengetahuan keislaman secara memadai dan maksimal serta akhlak”. (https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara)
Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Haidar Nasir menegaskan, ormas yang dipimpinnya tetap berada di garis Islam moderat dan toleran terhadap keragaman. Kemoderatan Muhammadiyah mengarah pada perdamaian, persatuan, dan toleran. "Sama, sejak dulu kami berada di garis moderat,". (https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara)
Dr. Taufiq Ramadlan al-Buthi, Ulama Syuriah, mengatakan bahwa seorang Muslim yang mempelajari Islam berdasarkan keilmuan yang benar justru dapat menangkal dan menghadapi radikalisme dan ekstremisme. https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/dunia/pnseau313/ulama-suriah-ekstremisme-dan-radikalisme-bukan-bagian-islam).
Referensi
Al-Andalusi, Abu Hayyan. (2010). Tafsir Bahrul Muhith. Beirut: DKI. Juz I.
As-Suyuthi, Jalaluddin. (2011). Tafsir ad-Durrul Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur. Beirui: Dar al-Fikr, Juz I.
Harori, Muhammad al-Amin. (2001). Tafsir Hadaiq ar-Rouh wa ar-Roihan, Makkah: Dar Thouq an-Najah.
Ibnu Katsir. (1997). Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Riyadh: Dar Thoybah.
Tim Penyusun. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI.
Editor : Fandy Akhmad
Sumber :