Top
    bdk_semarang@kemenag.go.id
(024) 7460290 / 08-222-555-9177

DIMENSI BATINIYAH IBADAH HAJI

Senin, 29 Desember 2025
Kategori: Artikel Ilmiah
13 kali dibaca

DIMENSI BATINIYAH IBADAH HAJI

(Pengayamaan Materi Pendidikan Agama Islam)

Oleh Achmad Subkhan, SHI., MSI.

Widyaiswara Ahli Madya BDK Semarang

 

Bulan Dzulhijjah atau biasa dikenal dengan nama bulan haji, merupakan salah satu bulan yang amat dinanti dan menggembirakan oleh umat Islam, terutama mereka yang telah mampu dan mendaftar Haji di Kantor Kementerian Agama. Di Indonesia, antrian untuk dapat menunaikan ibadah haji sudah melebih 10 tahun. Ini merupakan waktu penantian yang sangat lama. Maka wajar, jika waktunya telah tiba mereka begitu gembira. Kegembiraan mereka tidak lain disebabkan oleh kesempatan dapat menunaikan salah satu rukun Islam yaitu menunaikan haji.


“Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan haji” demikian perintah Allah kepada Nabi Ibrahim a.s. sebagaimana disebutkan dalam surat al-Hajj ayat 27.

“suaraku tidak akan dapat terdengar oleh mereka ya Allah”

“yang penting serukan panggilan itu, Kami akan memperdengarkannya”

Demikian dialog antara Tuha dengan Nabi Ibrahim a.s. yang ditemukan riwayatnya dalam berbagai kitab tafsir.


Maha benar Allah, tidak seorang manusia (muslim) pun yang tidak pernah mendengar adanya panggilan itu. Tidak seorang manusia (muslim) pun yang tidak mengetahui adanya kewajiban memperkenalkan panggilan itu. Ibadah haji sudah demikian popular di kalangan umat sehingga ia termasuk dalam kategori apa yang dinamai ma’lumun min al-din bi al-dlarurah (pengetahun pada tingkat aksioma) sehingga tidak ada alas an yang dapat dikemukakan dengan berkata: “saya tidak tahu”. Demikian Allah menepati janjinya.


Bagi seorang muslim yang telah menanti lama dalam daftar antrian, kemudian pada saatnya ia diperkenankan oleh Allah untuk memenuhi panggilan itu sembari berseru: “labbaik Allahumma labbaik” (aku dating memenuhi panggilan Engkau ya Allah), tentu akan menjadi sebuah pengalaman spiritual yang sangat dalam, yang mampu menggenggam segala emosi. Seakan-akan, dia tidak butuh apapun di dunia ini, yang ia butuhkan adalah selalu dekat dengan Allah.


Ibadah haji tidak terlepas dari keistimewaan Nabi Ibrahim a.s. Karena ibadah tersebut berkaitan erat dengan pengalaman ruhani Nabi Agung itu. Setidaknya ada tiga keistimewaan Nabi Ibrahim yang tidak dimiliki oleh nabi dan manusia lain, yang sekaligus tercermin dalam ibadah haji. Pertama, Ibrahim menemukan Tuhan melalui pencarian dan pengalaman ruhani. Kedua, melalui beliaulah kebiasaan mengorbankan manusia sebagai sesaji atau tumbah dibatalkan oleh Allah. Ketiga, Nabi Ibrahim adalah satu-satunya Nabi yang memohon agar diperlihatkan bagaimana Allah menghidupkan yang mati dan permohonan tersebut dikabulkan oleh-Nya.


Pelaksanaan Ibadah haji dapat ditinjau dari dimensi batiniyah. Syah Waliyullah ad-Dihlawi dalam bukunya Hujjatullah Al Balighah mengatakan bahwa hakikat haji adalah pertemuan sejumlah besar orang-orang sholeh pada suatu waktu tertentu untuk mengingat dan melakukan manasik sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi yang dilaksanakan di suatu tempat yang terdapat tanda-tanda Allah yang jelas, sembari mengagungkan Allah, mengharap kebaikan dari-Nya dan memohon ampunan-Nya. Adapun tempat yang terdapat tanda-tanda Allah yang jelas adalah Ka’bah.


Ka’bah (Baitullah) adalah tempat yang penuh berkah. Sejak awal pendiriannya terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah. Nabi Ibrahim a.s. yang kesholehannya telah disaksikan oleh umatnya, diketahui dan diyakini oleh umat sesudahnya, membangun tempat itu atas perintah dan wahyu Allah. Ini berarti bahwa dengan mengunjungi tempat yang didirikan oleh orang sholeh (Nabi) yang senantiasa berdzikir kepada Allah, sesungguhnya akan menarik perhatian para malaikat, yang kemudian akan turut melambungkan do’a-do’a kebaikan untuknya.


Nabi Ibrahim membangun ka’bah  yang kemudian menjadi tempat berkumpul seluruh umat Islam di dunia, memiliki makna bahwa pada hari akhir nanti, manusia akan dikumpulkan pada satu tempat menghadap Allah Maha Esa. Nabi Ibrahim mengumandangkan bahwa Allah adalah Tuhan sekalian alam, bukan Tuhan satu ras dan bangsa, juga bukan Tuhan yang terbatas untuk satu periode tertentu. Melalui haji, hendaknya menumbuhkan kesadaran bahwa semua manusia itu sama derajatnya dari segi kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat dari kewajiban memakai pakaian ihram, karena “pakaian biasa” seringkali menggambarkan perbedaan status manusia.


Lebih jauh, sebagai seorang makhluk, seorang muslim adakalanya merindukan sang Penciptanya, ia memerlukan sesuatu untuk memuaskan rasa rindunya itu dan kerinduan itu hanya bias dipenuhi dengan melaksanakan ibadah haji. Agama juga menetapkan ibadah haji yang bertujuan untuk membedakan antara orang yang ikhlas dan yang munafik, untuk memperlihatkan bagaimana manusia telah memasuki agama Allah secara berbondong-bondong, sehingga mereka bisa saling bertemu satu sama lain dan masing-masing dapat mengambil manfaat yang tidak mereka rasakan sebelumnya, karena tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai dengan cara berbaur dan bertemu satu dengan yang lain.


Karena ibadah haji merupakan perjalanan yang jauh dan berat, maka ibadah itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang kuat dan berkemauan keras, yang melakukan berbagai upaya untuk mewujudkannya, dan ia melaksanakan semua manasiknya sebagai bentuk persembahannya kepada Allah. Semoga para jama’ah haji yang saat ini menjalankan ibadah haji, menjadi haji yang mabrur, diampuni semua dosa-dosanya, terlahir kembali seperti orang yang baru mengikrarkan keimanannya, serta menjalani kehidupan selanjutnya lebih baik lagi.


Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI.

Editor : Fandy Akhmad

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP