Top
    bdk_semarang@kemenag.go.id
(024) 7460290 / 08-222-555-9177

PROBLEMATIKA PENDIRIAN TEMPAT IBADAH DI INDONESIA

Rabu, 30 April 2025
Kategori: Artikel Ilmiah
54 kali dibaca

PROBLEMATIKA PENDIRIAN TEMPAT IBADAH DI INDONESIA

(Perspektif Moderasi Beragama)

Oleh: Achmad Subkhan, SHI., MSI.

Widyaiswara Ahli Madya BDK Semarang

 

PENDAHULUAN

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Pemalang mengadakan rapat dengan pengurus umat tertentu dan tokoh agama kecamatan Petarukan. Hal ini dilakukan terkait dengan adanya penolakan rencana pendirian tempat Ibadah salah satu agama (https://bakesbangpol.pemalangkab.go.id/). Ini adalah satu contoh yang menunjukan bahwa kehidupan beragama di Indonesia belum sepenuhnya mencapai kondisi ideal.

Kondisi ideal kehidupan beragama tercermin dalam Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 29 (2) secara tegas menjelaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap - tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing - masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Namun demikian, kenyataan menunjukan sebaliknya. Masih ada sebagian umat beragama di beberapa daerah yang mengalami hambatan untuk melaksakan ajaran agamanya.

PEMBAHASAN

Peristiwa faktual persoalan peribadatan dan pendirian tempat ibadah masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Hasil riset SETARA Institut yang dirilis tahun 2023 menyebutkan, berdasarkan data longitudinal (2007-2022) menunjukkan telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah dalam satu setengah dekade terakhir. Jenis gangguan tersebut berupa pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya (https://setara-institute.org).

Beberapa contoh kasus penolakan pendirian tempat ibadah antara lain; penolakan pembangunan gereja di Cilegon, penolakan pembangunan musholla di Minahasa Utara, penolakan pembangunan pura di Bekasi dan penolakan pembangunan vihara di Kubu Raya, Kalimantan Barat. Jika kasus ini dibiarkan, maka dikhawatirkan dapat berkembang menjadi benih-benih konflik bernuasa agama. Pertanyaannya, mengapa ada sekelompok umat beragama yang menolak pendirian tempat ibadah agama lain? Hasil penelitian menjelaskan bahwa mayoritarianisme menjadi salah satu penyebab penolakan pendirian tempat ibadah. Adanya sikap tidak suka antara kaum mayoritas terhadap kaum minoritas, sehingga ketika kaum minoritas ingin mendirikan tempat ibadah, tidak diperbolehkan oleh kaum mayoritas (Munawaroh, dkk., 2023). Sentimen keagamaan juga turut berperan terjadinya penolakan pendirian tempat ibadah (Fidiyani, 2016). Kenyataan ini menunjukkan bahwa negara Indonesia belum sepenuhnya terlepas dari persoalan sosial keagamaan. Dapat dimaknai juga bahwa kebhinekaan negara Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh sebagian masyarakat.

Idealnya, sebagai bangsa yang memiliki kebhinekaan, kasus-kasus penolakan pendirian tempat ibadah tidak terjadi. Hal Ini dapat terwujud jika kesadaran seluruh warga masyarakat tentang kebhinekaan yang dimiliki bangsanya, tumbuh dan berkembang dalam jiwa dan pikiran. Kebhinekaan ini terwujud dalam potret bangsa Indonesia yang multikultural, multi agama, multi bahasa dan multi ekspresi. Jika sudah menyadari adanya kebhinekaan tersebut, maka tumbuh juga kesadaran diri bahwa diri ini tidak dapat memilih tempat di mana dilahirkan dan menjalani kehidupan. Sehingga, tumbuh kerelaan menerima segala kondisi lingkungan di sekitarnya sebagai tempat untuk menjalani kehidupannya. Kerelaan ini akan melahirkan sikap menghormati, menghargai dan toleran terhadap orang lain yang berbeda, baik agama, suku dan budayanya. Sikap-sikap inilah yang menjadi modal untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.

Salah satu wujud toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah membiarkan umat beragama lain menjalankan agama atau kepercayannya. Dalam melaksanaan ajaran agama, umat beragama membutuhkan tempat ibadah. Sebab, tempat ibadah merupakan tempat suci yang digunakan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dan khusyuk antara manusia dengan Tuhannya. Menolak pendirian tempat ibadah umat yang berbeda agama, berarti menghalangi umat beragama untuk lebih dekat dengan Tuhannya.

Persoalan pendirian tempat ibadah sesungguhnya merupakan isu sentral yang telah mendapatkan intervensi Pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Mengenai pendirian tempat ibadah, telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat ibadah. Dalam peraturan ini, secara tegas ditentukan syarat-syarat pendirian tempat ibadah yang tercantum dalam pasal 13 dan 14.

Pasal 13

1)    Pendirian tempat ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh - sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

2)    Pendirian tempat ibadah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

3)    Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/ kota atau provinsi.

Pasal 14

1)    Pendirian tempat ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

2)  Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian tempat ibadah harus memenuhi persyaratan khusus meliputi :

a.     Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna tempat ibadah paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3);

b.     Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa;

c.     Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan

d.    Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. (3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyaratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan tempat ibadah.

Merujuk pada peraturan di atas, maka jika suatu umat beragama berkeinginan mendirikan tempat ibadah sesuai dengan agamanya dan telah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, maka tidak ada alasan bagi siapapun dapat melakukan penolakan. Sebab, secara hukum telah terpenuhi.

Namun demikian, fakta yang terjadi hingga saat ini masih terdapat kasus-kasus penolakan tempat ibadah. Hal ini, menurut penulis, disebabkan oleh 2 (dua) faktor yaitu; 1) rendahnya pengetahuan dan kesadaran sebagian masyarakat tentang kenyataan kebhinekaan bangsa Indonesia dalam konteks keagamaan, dan 2) rendahnya pengetahuan dan kesadaran sebagian masyarakat terhadap konstitusi.

Berkaitan dengan konstitusi, penulis menemukan fakta bahwa sosialisai PBM Nomor 9 dan 8 belum menyentuh sampai masyarakat di daerah - daerah. Fakta ini penulis dapatkan ketika menanyakan perihal peraturan tersebut kepada penyuluh agama, dalam beberapa pelatihan Kerukunan Umat Beragama. Dan yang mengejutkan, masih ada penyuluh agama yang belum mengetahui adanya peraturan tersebut. Kondisi ini dapat menjadi faktor penguat terjadinya penolakan tempat ibadah. Seandainya masyarakat telah mengetahui secara memadai landasan hukum pendirian tempat ibadah, bisa jadi kasus penolakan tempat ibadah tidak banyak terjadi sebagaimana yang dirilis oleh Setara Institut.


Perspektif Moderasi Beragama

Indikator sikap moderat dalam beragama yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal. Berdasarkan indikator - indikator tersebut, maka penolakan pendirian tempat ibadah tidak sejalan dengan moderasi beragama. Karena pertama, tidak mencerminkan komitmen kebangsaan. Salah satu implementasi komitmen kebangsaan yaitu menaati konstitusi. Konstitusi telah menjamin pemeluk agama untuk beribadat menurut agamanya. Kedua, tidak menunjukkan toleransi. Tolerasi ditunjukkan dengan cara memberikan kesempatan kepada pemeluk agama lain untuk melaksanakan ibadah dan keyakinannya. Terlebih lagi jika penolakannya disertai dengan tindak kekerasan, tentu tidak sejalan moderasi beragama.

Berpijak pada fakta di atas, untuk menjawab problematika pendirian tempat ibadah dalam perspektif moderasi beragama, diperlukan upaya yang berkelanjutan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan dan kesadaran tentang kebhinekaan, kemultikulturalan bangsa Indonesia serta regulasi yang berkaitan dengan pendirian tempat ibadah kepada seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga tidak marak terjadi kasus - kasus penolakan pendirian tempat ibadah. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain;

1.   Negara melalui Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri hadir lebih intensif dalam persoalan pendirian tempat ibadah;

2.     Meningkatkan intensifitas komunikasi antar sesama tokoh agama;

3.     Meningkatkan kualitas relasi antar umat beragam di daerah, agar pola pikir mayoritarianisme tidak berkembang;

4.   Jujur dalam berinteraksi antar umat beragama, sebagai cara untuk menghidari dan mengurangi sentimen antar agama;

5.     Mengarusutamakan kearifan lokal yang mencerminkan harmoni antar umar beragama; dan

6.     Mengintensifkan materi tentang kebhinekaan dan multikultural dalam ceramah agama.


PENUTUP

Problematika pendirian tempat ibadah merupakan salah satu permasalahan yang harus dijawab, agar harmoni kehidupan antar umat bergama dalam bingkai berbangsa dan bernegara dapat terwujud. Harmoni kehidupan antar umat beragama bukanlah usaha sekali jadi, yang kemudian diabaikan begitu saja. Akan tetapi, suatu upaya yang harus dilakukan secara terus menerus selaras dengan perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap warga negara atau siapa saja yang hidup di Negara Indonesia, memiliki kewajiban dan bertanggug jawab untuk mewujudkan dan menjaga harmoni tersebut.


REFERENSI

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Fidiyani, Rini. 2016. Dinamika Pembangunan Rumah Ibadah Bagi Warga Minoritas di Jawa Tengah. PROSIDING SEMINAR NASIONAL MULTI DISIPLIN ILMU & CALL FOR PAPERS UNISBANK (SENDI_U) KE-2 Tahun 2016 Kajian Multi Disiplin Ilmu dalam Pengembangan IPTEKS untuk Mewujudkan Pembangunan Nasional Semesta Berencan (PNSB) sebagai Upaya Meningkatkan Daya Saing Global.

Munawaroh, Iis & Wahid Abdul Kudus. 2023. Intoleransi Agama Bagi Kehidupan Masyarakat Minoritas di Kota Cilegon-Banten. Jurnal Pendidikan Sosiologi Undiksha Jurusan Sejarah, Sosiologi dan Perpustakaan Volume 5 Nomor 3.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Tempat ibadah.

https://bakesbangpol.pemalangkab.go.id/rapat-terkait-pendirian-gereja/

https://setara-institute.org/kasus-penolakan-peribadatan-dan-tempat-ibadah-lebih-serius-dari-apa-yang-disampaikan-presiden-jokowi/


Pic source : TNI AD

Penulis : Achmad Subkhan (Widyaiswara BDK Semarang)

Editor : Fandy Akhmad

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP