Kasus yang menimpa seorang ayah di Klaten Jawa Tengah, yang harus meregang nyawa karena ulah perbuatan anaknya sendiri, menambah deretan kisah pilu di negeri ini. Ucapan yang bermaksud “mendidik” tapi berakibat ke ujung maut. Anak yang merasa tersinggung dengan ucapan ayah karena tidak memiliki pekerjaan, menjadi lupa diri dan hilang kendali. Pelaku memukul korban di bagian kepala hingga dua kali. Pukulan tersebut, mengakibatkan kepala korban bersimbah darah hingga menghembuskan nafas yang terakhir.
Kasus di atas merupakan indikasi dari lemahnya karakakter pada generasi muda kita. Anak-anak muda tak lagi mempunyai nilai-nilai karakter. Perilaku mereka semakin jauh dari nilai-nilai luhur bangsa dan juga tidak meneladani karakter yang diteladankan oleh para pendiri bangsa ini. Nilai-nilai sopan santun, saling menghormati, saling menyayangi, tolong menolong dan lain sebagainya semakin pudar karena terus menerus tergerus oleh kemajuan zaman.
Agar mereka “tidak tersesat” terlalu jauh, maka harus ada upaya untuk mengedukasi mereka agar kembali menuju ke jalan yang benar.
Penanaman Nilai-nilai Karakter di Sekolah
Penanaman nilai-nilai karakter dapat di mulai dari lingkungan keluarga, kemudian dilanjutkan di sekolah. Namun dalam tulisan ini akan dibahas tentang upaya penanaman nilai-nilai karakter di lingkungan sekolah. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam upaya menumbuhkan nilai-nilai karakter di sekolah, antara lain: pertama, budaya S3. Yang dimaksud dengan budaya S3 adalah Senyum, Salam (sapa), dan Salim. Budaya ini dapat diterapkan ketika “menjemput” kedatangan siswa. Sekolah dapat membuat jadwal agar ada guru yang bertugas untuk melakukan tugas tersebut setiap harinya. Jiak program ini dapat berjalan dengan baik, ada pendidikan karakter yang dapat ditumbuhkan dalam pribadi peserta didik melalui kegiatan ini. Diantara nilai karakter tersebut adalah kedisiplinan ketika berangkat ke sekolah, hormat kepada orang yang lebih tua, dan nilai humanis.
Kedua, membaca kisah teladan. Untuk menerapkan kegiatan ini, sekolah dapat menyediakan waktu untuk anak-anak membaca buku kisah teladan. Sekolah bisa mengalokasikan waktu 1 sampai 2 jam pelajaran per minggu. Konsekwensi dari program ini adalah sekolah harus menyediakan beberapa buku bacaan. Tidak sekedar membaca, peserta didik pun dituntut memahami bahkan menceritakan karakter dari tokoh tersebut. Nilai-nilai karakter yang dapat dipetik dari kegiatan ini adalah menumbuhkan kegemaran pada peserta didik dalam membaca dan bercerita. Kegiatan ini tidak boleh berhenti pada aktivitas membaca dan bercerita saja, tetapi guru harus dapat mengeksplor kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan karakter mulia yang dimiliki oleh tokoh dalam buku cerita tersebut. Harapannya adalah peserta didik dapat meneladani karakter mulia yang ada dalam buku cerita itu.
Ketiga, Keteladanan. Keteladanan dapat dicontohkan oleh guru dan tenaga kependidikan. Guru merupakan orang kedua anak. Jadi segala perbuatan dan perkataan guru akan diteladani dan diikuti oleh anak, karena anak mempunyai sifat imitate atau meniru. Oleh karena itu, sebagai guru harus memberikan contoh teladan yang baik bagi anak didiknya. Teladan yang baik tidak hanya dicontohkan di sekolah saja melainkan dalam kehidupan sehari-hari di luar sekolah, seorang guru juga dituntut memberikan teladan yang baik. Sikap keteladanan yang baik ini patut diberikan oleh guru, sehingga pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” tidak akan menimpa pada anak didik kita.
Keempat, melaui program pembiasaan. Sekolah dapat menerapkan program ini melalui skala prioritas. Artinya, sekolah dan orang tua wali murid bisa duduk bersama untuk membuat skala prioritas nilai-nilai karakter yang diharapkan dari para orang tua wali murid. Ketika telah disepakati baru kemudian sekolah membuat rancangan program tersebut. Nilai-nilai karakter tersebut kemudian dibiasakan di sekolah. Agar kegiatan ini dapat berjalan sesuai yang diharapkan, maka sekolah perlu membuat “buku monitor” siswa. Kehadiran buku ini diharapkan dapat merekam atau setidak-tidaknya memantau tingkah laku siswa dalam kehidupan sehari-harinya. Bagi siswa yang mempunyai perilaku baik akan mendapatkan reward, sebaliknya siswa yang sering melanggar nilai-nilai karakter yang telah diterapkan di sekolah akan mendapatkan sanksi.
Reward tidak mesti berupa uang atau hadiah. Akan tetapi reward, dapat berupa prasyarat untuk kenaikan kelas atau kelulusan sekolah. Dengan arti lain, seorang siswa yang sering melanggar program pembiasaan yang telah ditetapkan oleh sekolah, siswa tersebut bisa terkena sanksi tidak dapat naik kelas atau tidak akan lulus. Sekolah harus memiliki keberanian untuk menegakkan sanksi ini, agar program pembiasaan di sekolah mempunyai daya tawar yang tinggi.
Kelima, internalisasi nilai-nilai karakter dalam setiap mata pelajaran. Penanaman nilai-nilai karakter tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab guru PPKn dan guru agama saja, akan tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab semua guru dan tenaga kependidikan yang ada di satuan pendidikan tersebut. Sebagai guru, penanaman nilai-nilai karakter dapat dilakukan melalui mata pelajaran yang diajarkan. Sebagai contoh guru mata pelajaran penjaskes. Nilai-nilai karakter yang dapat ditanamkan dalam mata pelajaran ini pada contoh materi “permainan bola besar” adalah nilai kedisiplinan dan nilai tanggung jawab.
Ketika usai mengajar, seorang guru dapat memberikan pesan kepada para siswa tentang nilai-nilai karakter yang ada dalam permainan tersebut. Agar tim dapat memenangkan dalam permainan maka harus ada sikap disiplin dan tanggung jawab sesuai dengan perannya masing-masing. Tanpa sikap demikian, maka sebuah tim akan sulit meraih kemenangan. Oleh karena itu, sikap disiplin dan tanggung jawab tidah hanya diperlukan ketika hanya bermain bola besar saja, akan tetapi perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang yang menjadi masalah adalah apakah semua guru pelajaran, -selain guru PPKn dan mata pelajaran PAI- telah menginternalisasi nilai-nilai karakter dalam dalam mata pelajaran yang diampunya?
Penulis :
Editor :
Sumber :