Top
    bdk_semarang@kemenag.go.id
(024) 7460290 / 08-222-555-9177

KEDUDUKAN SURAT EDARAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Jumat, 15 November 2024
Kategori: Artikel Ilmiah
151 kali dibaca

KEDUDUKAN SURAT EDARAN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Oleh: Achmad Subkhan, SHI., MSI.

Widyaiswara Ahli Madya

 

Mengawali artikel ini, perlu saya sampaikan bahwa untuk meningkatkan kemampuan literasi, kita perlu terbiasa membaca dan menulis. Artikel ini merupakan upaya saya untuk menyegarkan pengetahuan tentang hukum, sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Beberapa karya ilmiah bertema hukum yang pernah saya tulis antara lain; karya tulis ilmiah (KTI) diseminarkan berjudul “Widyaiswara dalam Undang-Undang Sistim Pendidikan Nasional” (2016), “Pejabat Pembuat Komitmen Tak Bersertifikat Kajian Kritis Peraturan Menteri Agama  Nomor 45 Tahun 2014 Pasal 10” diterbitkan dalam Jurnal Kompetensi (2017), dan “Kehidupan Privat dan Ketertiban Umum dalam Pusaran Hukum” diterbitkan dalam Jurnal Inovasi (2018). Di samping karya ilmiah dalam wilayah hukum positif, saya juga memiliki beberapa karya ilmiah dalam bidang hukum Islam. Baiklah, saya akan kembali kepada tema yaitu kedudukan surat edaran dalam peraturan perundang-undangan.


Suatu komunitas masyarakat tentu memiliki aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Pelanggaran atas peraturan tersebut berimplikasi tuntutan tertentu terhadap pelanggar. Hukum, kehidupan privat dan ketertiban umum adalah entitas yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain dalam kehidupan masyarakat dan negara. Hukum adalah produk dari kesepakatan untuk mengatur kehidupan bersama, hal ini jika dipahami bahwa hukum adalah sesuatu yang mandiri, bukan sebagai alat untuk mendukung suatu kekuasaan tertentu.


Sistem norma hukum Indonesia membentuk bangunan piramida, norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berjenjang-jenjang, berlapis-lapis, sekaligus berkelompok-kelompok. Dalam arti bahwa norma hukum tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi, dan norma hukum yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma hukum yang lebih tinggi pula, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara Indonesia, yaitu: Pancasila (cita hukum rakyat Indonesia, dasar dan sumber bagi semua norma hukum di bawahnya. Hal ini menunjukkan adanya hierarki peraturan perundang-undangan.


Membincang peraturan perundang-undangan dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara Indonesia, berarti membincang tentang peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan bersifat mengikat secara umum. Hierarki yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 Pasal  7 ayat (1) yaitu:

a.   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d.   Peraturan Pemerintah;

e.   Peraturan Presiden;

f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.   Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.


Proses legislasi peratuan perundang-undangan hingga menjadi peraturan perundang-undangan yang mengikat, juga tidak lepas dari asas-asas hukum. Beberapa asas hukum yang berkaitan dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu:

1.     Asas setiap orang dianggap telah mengetahui undang – undang setelah diundangkan dalam lembaran negara;

2.     Asas Non Retro aktif. Suatu undang-undang tidak boleh berlaku surut;

3.     Lex spesialis derogat lex generalis. Undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum;

4.     Lex posteriori derogat legi priori. Undang-undang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang yang baru yang mengatur hal yang sama;

5.     Lex Superior derogat legi inforiori. Hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan hukum / peraturan yang derajatnya di bawahnya;

6.     UU Tidak dapat diganggu gugat, artinya siapapun tidak boleh melakukan uji material atas isi undang-undang, kecuali oleh Mahkamah Konstitusi.


Kedudukan Surat Edaran dalam Peraturan Perundangan-Undangan

Indonesia merupakan negara hukum. Oleh karena itu, segala aspek kehidupan, baik dalam kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan kepemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Adapun proses pembentukan hukumnya harus berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.

Lalu, bagaimana kedudukan surat edaran dalam peraturan perundang-undangan?


Kita sering sekali melihat surat edaran yang diterbitkan oleh menteri, pejabat setingkat menteri dan pejabat yang berwenang lainnya. Berdasarkan lampiran penjelasan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 9 Tahun dijelaskan bahwa surat edaran adalah naskah dinas yang memuat penetapan dan pemberitahuan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak serta ditujukkan kepada lingkungan tertentu. Dalam KMA ini, surat edaran termasuk naskah dinas arahan, yaitu naskah dinas yang memuat kebijakan pokok atau kebijakan pelaksanaan yang harus dipedomani dan dilaksanakan dalam penyelenggaraan tugas dan kegiatan kementerian agama yang berupa produk hukum yang bersifat pengaturan, penetapan dan penugasan.


Selanjutnya, berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan, surat edaran tidak dikategori peraturan perudang-undangan,  bukan juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya. Sehingga di dalam surat edaran, sebagaimana kita ketahui dari UU Nomor 12 Tahun 2011 dan untuk memperjelas makna dari kebijakan yang dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, jelas dan seharusnya di dalam surat edaran tidak memiliki sanksi.

Surat edaran lebih dapat diartikan sebagai surat pengantar untuk mengantarkan suatu produk kebijakan dan isinya tidak mengubah, tidak menambah-nambahi, tidak menganulir peraturan yang diantarkannya, sehingga peraturan yang diantarkan tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud. Disamping itu, surat edaran lebih bersifat technical guidance (petunjuk teknis) bagi unit yang ada di bawahnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1.     Surat edaran tidak dikategorikan produk hukum, sehingga tidak ada klausul sanksi;

2.     Surat edaran memuat kebijakan pokok atau kebijakan pelaksanaan yang harus dipedomani dan dilaksanakan dalam penyelenggaraan tugas.

3.   Surat edaran lebih bersifat technical guidance (petunjuk teknis) bagi unit yang ada di bawahnya. Isinya tidak mengubah, tidak menambah-nambahi, tidak menganulir peraturan yang diantarkannya, sehingga peraturan yang diantarkan tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud.

4.     Karena surat edaran memuat kebijakan teknis pelaksanaan, maka tidak diperlukan lagi surat edaran turunannya. Atau dengan kata lain, “tidak ada surat edaran atas surat edaran”.

5.     Berdasarkan asas hukum Lex Superior derogat legi inforiori, maka surat edaran tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Sebagaimana kita ketahui, birokrasi pemerintahan berjalan secara hierarkis sesuai peraturan yang berlaku. Setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat yang berwenang, harus didasarkan pada konsideran hukum yang berlaku. Hal ini berlaku di setiap level. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 pasal 11 butir a menyebutkan bahwa pegawai Aparatur Sipil Negara bertugas melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Semoga bermanfaat.

 

Penulis : Achmad Subkhan (Widyaiswara BDK Semarang)

Editor : Tim Publikasi BDK Semarang

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP