Top
    bdk_semarang@kemenag.go.id
(024) 7460290 / 08-222-555-9177

ULAMA PENJAGA AL-QUR’AN DI NUSANTARA

Jumat, 18 Oktober 2024
Kategori: Artikel Ilmiah
95 kali dibaca

ULAMA PENJAGA AL-QUR’AN DI NUSANTARA

Oleh Achmad Subkhan, SHI., MSI

Widyaiswara Ahli Madya

BDK Semarang

 

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang kemurniannya senantiasa terjaga dan terpelihara (Surat al Hijr: 9), berbeda dengan kitab-kitab suci umat sebelumnya. Proses penjagaan dan pemeliharaan al-Qur’an dilakukan dengan menggunakan tradisi tertua, yaitu menghafal. Meskipun tradisi tulis juga sudah ada, namun tradisi menghafal merupakan tradisi yang lumrah pada masa itu. Nabi Muhammad saw. menyampaikannya kepada para sahabat dan memerintahkan mereka untuk menghafal dan menuliskannya. Hal ini dilakukan sejak permulaan Islam, saat Nabi saw menerima wahyu. Hampir semua sahabat yang menerimanya, mampu menguasai dan menghafal wahyu yang diturunkan kepada Nabi saw.

Sepeninggal Nabi Muhammad saw, tradisi menghafal al-Qur’an berlanjut pada masa kekhalifahan (khulafaurrasyidin), kemudian berlanjut masa tabiin dan seterusnya hingga masa sekarang. Sejalan dengan pesan Nabi saw, tradisi menghafal ini menjadi bagian dari ibadah menjaga keotentikan al-Qur’an.

أشرف أمتي حملة القرأن (رواه الترمذي)

“Umatku yang paling mulia adalah para penghafal Al-Qur'an.” (Riwayat at-Tirmidzī).

خيركم من تعّلم القرأن وعلّمه (رواه البخاري)

Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur′an dan mengajarkannya (kepada orang lain)” (Riwayat al-Bukhorī)

Adapun tradisi penulisan wahyu, sejatinya telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad saw. Sedangkan pembukuannya, dimulai sejak masa khulafaurrasyidin dan berlanjut hingga sekarang. Meskipun al-Qur’an telah dibukukan dan dicetak berulang-ulang oleh berbagi perusahaan percetakan di seluruh dunia, dan dari masa ke masa, namun keontentikannya tetap terjaga.

Sejarah modern mencatat, ada sebuah lembaga di Jerman yang meneliti keotentikan al-Quran, yaitu Lembaga Kajian Al-Qur’an yang didirikan oleh Universitas Munich. Lembaga tersebut berusaha mengumpulkan 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an. Mereka menetapkan kriteria Al-Qur’an yang dikumpulkan dicetak di zaman yang berbeda-beda dan dari tempat yang beda-beda, dan berhasil mereka lakukan. Langkah selanjutnya, tim melakukan kajian komparatif antar naskah. Mereka tidak menemukan sesuatu pun adanya perubahan/ ada yang di ubah dalam Al-Qur’an. Ketika mereka telah melakukan kajian komparatif sebanyak lebih 80% dari 40.000 mushaf Al-Qur’an, mereka membuat sebuah laporan yang kemudian disimpan di Perpustakaan Nasional, Berlin. Laporan tersebut berisi hasil kerja tim, yaitu: 1) pengumpulan 40.000 naskah mushaf Al-Qur’an, 2) Proses kajian komparasi, 3) Tidak ditemukan adanya pengubahan dalam Al-Qur’an. Yang mereka temukan hanya kesalahan penulisan, misalnya kata  لا ريب فيه  tertulis لازيت فيه . Ini adalah kesalahan titik, dan kata  لازيت  dalam bahasa arab tidak ada maknanya, dan ini bukanlah sebuah tahrif (pengubahan). Namun sayangnya, 40.000 mushaf al-Qur’an yang berhasil dikumpulkan oleh lembaga, rusak akibat dampak perang dunia kedua. Peristiwa ini direkam oleh Muhammad Musthofa ‘A’zami yang dimuat dalam bukunya berjudul “The History Of The Qur’anic Text” halaman 206.

Indonesia merupakan salah satu negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Sejak sebelum kemerdekaan, tradisi menghafal al-Qur’an telah dilakukan oleh para ulama. Sehingga tidak mengherankan, jika kemudian banyak ulama ahli al-Qur’an yang dilahirkan negeri ini. Ulama Indonesia memiliki jaringan yang luas dengan ulama-ulama Timur Tengah. Melalu jaringan ini, mereka menghafal al-Qur’an, mempelajari dan memahami isinya. Jaringan demi jaringan terangkai dalam bingkai sanad yang berbasis talaqqi dan musyafahah hingga otentisitas Al-Qur′an terus terjaga. Dari santri menjadi kyai yang kemudian mengajar para santri; demikian proses tranfer ilmu Al-Qur′an terus berjalan, baik yang sifatnya personal individual maupun institusional dalam bentuk lembaga/pesantren tahfiz Al-Qur′an.

Beberapa ulama seperti K.H. Munawwir Krapyak, KH. Munawwar Gresik, dan KH. Sa‘id Isma‘il Sampang adalah ulama-ulama Al-Qur′an yang lahir dari negeri ini. Melalui pengajian yang mereka rintis, yang di kemudian hari berkembang menjadi pondok pesantren, al-Qur’an diajarkan kepada para santri. Dari mereka, lahir para penghafal Al-Qur′an yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Dalam konteks sosial keagamaan, keberadaan kiai/ulama merupakan aset yang sangat penting. Tidak hanya terlibat aktif dalam upaya mencerdaskan anak bangsa, mereka juga telah banyak berkontribusi dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dan menyukseskan pembangunan bangsa.

Ulama-ulama ahli al-Qur’an adalah para penjaga al-Qur’an. Di Indonesia, terdapat banyak ulama penjaga al-Qur’an yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Mereka yaitu:

1.     KH. M. Munawwir, Krapyak (1870-1941): Mahaguru Pesantren Al-Qur’an;

2.     KH. Munawwar (1884-1944): Sang Pelopor Pesantren Tahfiz Al-Qur’an di Sidayu Gresik;

3.     KH. Sa‘id Isma‘il (1891-1954) Sampang, Madura;

4.     KH. Muntaha, Pondok Pesantren al Asy-ariyah Wonosobo

5. KH. Ahmad Umar Abdul Mannan (1916-1980): Pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta Jawa Tengah;

6.     Abuya KH. Muhammad Dimyati: Mutiara Cidahu;

7.     KH. Yusuf Junaedi: Perintis Tahfiz Al-Qur’an di Bogor;

8.     KH. Abdul Manan Syukur: Pelopor Pengajaran Tahfiz Al Qur’an di Malang;

9.     KH. Abu Bakar Shofwan: Perintis Pesantren Tahfiz Al-Qur’an Pertama di Jawa Barat;

10. KH. Umar Sholeh, Cirebon;

11. Tengku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri: Hafizul Qur’an Pejuang Pendidikan Modern di Bumi Serambi Mekah;

12. Tengku Haji Mahjiddin Jusuf (1918-1994): Mengajar Al Qur’an dengan Syair;

13. Syekh Jakfar Abdul Qodir Al-Mandili: Perintis Tahfiz di Mandailing Natal;

14. Syekh Azra‘i Abdurrauf: Studi Sanad dan Metodologi Pengajaran Menghafal Al-Qur’an;

15. Syekh Abdurrahman (1777-1899): Pelopor Pengajaran Al Qur’an di Sumatera Barat;

16. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi;

17. Buya Zainuddin Hamidy: Penghafal Al-Qur’an yang Ahli Hadis;

18. Syekh Muhammad Azhari Al-Falimbani (1811-1874 M): Hafiz dan Penulis Al-Qur’an Cetakan Awal Nusantara;

19. KH. Kemas Muhammad Yunus (1900-1971): Menyehari harikan Al-Qur’an;

20. KH. As‘ad bin KH. Abd. Rasyid Al-Buqisy: Perintis Ulama Huffaz di Sulawesi Selatan;

21. KH. Umar Kelayu Lombok Timur

Dan masih banyak lagi ulama penjaga al-Qur’an di bumi Nusantara ini. Bila kita membaca biografi ulama-ulama tersebut di atas dan mendengar kisah hidup serta menyelaminya, bak berdiri di depan kacabenggala nan bening bercahaya. Darinya, kita bisa berkaca diri tentang kualitas hidup kita.

Penulis : Achmad Subkhan (Widyaiswara BDK Semarang)

Editor : Fandy Akhmad

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP