Top
    bdk_semarang@kemenag.go.id
(024) 7460290 / 08-222-555-9177

Usaha Ulama Melestarikan Keotentikan Hadits Rasulullah SAW

Jumat, 30 April 2021
Kategori: Artikel Ilmiah
42852 kali dibaca

     Di dalam kitab Ar-Risalah Juz I halaman 10-11, terdapat sebuah riwayat yang menjelaskan tentang sebuah surat yang ditujukan kepada Imam Syafi’i. Surat itu berasal dari seorang Gubernur yang bernama Abdurrahman Al-Mahdi. Melalui surat tersebut, Gubernur menyampaikan sebuah pertanyaan tentang bagaimana memahami makna Al-Qur’an sebagai sumber syari’at. Atas dasar surat ini, kemudian Ali bin al-Madini meminta kepada Imam Syafi’i menjawab surat tersebut. Imam Syafi’I di dalam kitabnya ar-Risalah Juz II halama 21-25 menjelaskan bahwa untuk memahami makna Al-Qur’an, maka dibutuhkan suatu penjelasan (bayan), yaitu: 1) Bayan Ilahi, penjelasan Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an. 2) Bayan Nabawi, penjelasan dari Rasulullah Saw. dan 3) Ijtihad.

     Keberadaan Bayan Nabawi -dalam hal ini adalah hadits Nabi Muhammad Saw.- berkaitan dengan peran para sahabat dan ulama dalam melestarikannya. Upaya yang dilakukan oleh Ulama dalam melestarikan hadits antara lain dengan tradisi rihlah ilmiyah. Yaitu suatu tradisi melakukan perjalanan untuk melakukan validasi, melacak, mendengarkan dan mendapatkan suatu hadits.

    Saat ini, kita mengetahui dan mungkin melihat adanya kitab-kitab hadits yang jumlahnya berjilid-jilid. Jangan dibayangkan, bahwa kitab-kitab itu sudah ada pada masa Rasulullah Saw. Penulisan hadits secara konstitusional dimulai pada masa khalifah ’Umar Ibn ’Abdul ’Aziz yang memerintahkan penulisan hadits kepada para ’Ulama. Hasil penulisan kemudian dikirim kepada Khalifah. Kebijakan ini menjadi kebijakan pemerintahan yang kemudian disebar ke berbagai wilayah. Beberapa ulama yang mendapatkan perintah untuk menulis hadits antara lain Murrah Ibn Katsir dan Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Hazm (Razak, 1966:337).  

     Pada masa Nabi Muhammad SAW, tradisi perekaman/penulisan hadits sudah dilakukan oleh sahabat yang jumlahnya masih sedikit, dan Itupun masih dalam bentuk shahifah-shahifah. Meskipun sebenarnya ada semangat untuk melakukan penghimpunan hadits Nabi, namun di lain pihak para sahabat lebih berkonsentrasi pada penghimpunan Al-Qur’an. Hal ini sema-mata demi menghindari kerancuan antara Al-Qur’an dengan hadits (ash-Sholih, 2009:17). Terlebih lagi adanya suatu riwayat hadits disebutkan bahwa Nabi SAW. melarang penulisan hadits (al-Nawawi, tt:129). Adanya larangan penulisan hadits ini membuat para sahabat mengandalkan daya ingat untuk menghafal hadits-hadist Rasulullah. Sudah diakui bahwa masyarakat Arab pada masa itu masyhur dengan daya hafal dan pengingatan yang kuat. Sehingga, dalam perkembangannya, transmisi hadits dari pendengar awal kepada pendengar berikutnya (masyarakat) dilakukan dengan cara periwayatan. Maka, kalau kita membaca kitab hadits, akan ditemukan sanad (jalur) periwayatan dengan kalimat: حدثنا (telah berkata kepadaku).

     Pada masa Khulafaurrasyidin, empat khalifah awal pasca Nabi Muhammad,  kemurnian hadits masih sangat terjaga. Namun dalam perkembangannya, perjalanan suksesi beberapa kekhalifahan berikutnya diwarnai penyalahgunaan dan pemalsuan hadits. Hal ini lebih disebabkan oleh nafsu politik kekuasaan.

     Dalam perkembangan selanjutnya, untuk menjaga keotentikan hadits, para ulama di samping melakukan klarifikasi hadits juga melakukan penghimpunan dan kemudian dibukukan. Untuk hal ini, kadang seorang ulama harus melakukan perjalanan jauh hanya untuk melakukan klarifikasi kebenaran sebuah hadits. Kegigihan sahabat dan ulama dalam menggali dan memelihara suatu hadits menggambarkan betapa berat perjuangan mereka untuk mendapatkan suatu kebenaran. Oleh karena itu, merupakan suatu keniscayaan apabila dikemudian hari ulama-ulama hadits memperoleh kedudukan semestinya setelah sekian lama melakukan perjalanan ilmiah untuk menyelamatkan salah satu sumber syariat ini.

     Perjalanan mencari suatu hadist (yang merupakan ilmu syari’at) -yang oleh ulama sebut dengan rihlah ‘ilmiah- telah di mulai abad pertama Hijriyah. Dalam melakukan aktifitas ini, seorang sahabat rela melakukan perjalanan jauh, menginap berhari-hari, naik unta atau berjalan kaki demi mendapatkan 1 (satu) hadist (ilmu). Tradisi perjalanan ini berlanjut ke masa tabi’in.  Mengapa demikian? Hadist-hadits Rasulullah SAW. telah tersebar di berbagai daerah, sehingga bisa jadi di suatu daerah ada hadits A, tapi di daerah lain tidak ada hadis A. inilah kemudian yang  menggugah para sahabat melakukan perjalanan tersebut.

Gambaran tradisi ulama mencari hadits dapat dilihat sebagaimana diceritakan oleh ’Atho’ Ibn Abi Robbah dalam al Khathib (1977:176):

”Abu Ayub al-Anshari pergi menuju kepada ’Uqbah Ibn ’Amir, dia menanyakan tentang yang didengarnya dari Rasulullah SAW dan tidak ada seorang pun yang mendengarnya dari Rasulullah selain Abu Ayub dan ’Uqbah. Ketika sampai kepada tempat Maslamah bin Mukholid al-Anshori –Amir Mesir- dia mengabarkannya dan segera menuju  kepada Maslamah...(dan seterusnya).”

     Al-Baghdadi (1975:78-80) menunjukan riwayat lain yang menggambarkan kesungguhan usaha sahabat untuk memperoleh sebuah hadits, yaitu hadits tentang keutamaan orang yang mencari ilmu.

”Dari Katsir Bin Qais berkata :

Saya duduk bersama Abi Darda di Masjid Damaskus, ada seorang laki-laki yang datang kepadanya dan berkata : ”wahai Abi Darda, saya datang dari Madinah, kota Rasulullah SAW untuk sebuah Hadits, sampaikan kepadaku bahwa engkau meriwayatkannya dari Nabi SAW, Abi Darda berkata: Apakah kamu datang dengan dagangan. Jawabnya: tidak. Abi Darda’ berkata: dan kamu tidak datang dengan selainnya (dagangan). Jawabnya: tidak. Abi Darda berkata : Saya mendengar dari Rasulullah SAW berkata: ”barang siapa menapaki suatu perjalanan dalam rangka mencari ilmu maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga, dan para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena rela mencari ilmu dan sesungguhnya bagi pencari ilmu maka akan memohonkan ampunan baginya apa yang dilangit dan di bumi, hingga dua kehidupan di air, dan sesungguhnya keutamaan ahli ilmu terhadap ahli ibadah seperti keutamaan Purnama terhadap bintang-bintang. Sesunggunya ulama adalah para pewaris Nabi dan para Nabi tidak meriwayatkan Dinar dan Dirham, sesungguhnya mereka mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya maka ia mengambil sesuantu yang besar”.

     Contoh fakta historis di atas menunjukan betapa sahabat pada saat itu haus untuk mendapatkan kebenaran, sehingga mereka berusaha keras untuk mendapatkannya. Mereka berusaha untuk melacak kebenaran satu hadits tentang ilmu yang pernah didengar. Meskipun mereka harus melakukan perjalanan yang cukup jauh. Mengapa demikian krusial mereka mempertahankan keotentikan suatu hadits? Seperti disinggung di atas, bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam. Maka, keotentikan (keaslian) suatu hadits harus dijaga agar terhindar dari tahrif (penyimpangan). Bagaiman cara menjaganya? Salah satu caranya adalah dengan melacak sanad (jalur) periwayatannya, hingga kemudian dapat dipastikan bahwa suatu hadits benar-benar datang dari Rasulullah SAW.

     Demi menjaga keotentikan hadits, para periwayatpun sangat berhati-hati dalam menyampaikan suatu hadits. Sikap sangat hati-hati juga dicontohkan oleh sahabat Anas bin Malik yang mengatakan:

“seandainya saya tidak khawatir jatuh dalam kesalahan, sungguh telah kusampaikan segala sesuatu dari Rasulullah” (Khatib, 1977:93).

     Kehati-hatian dalam meriwayatkan yang dilakukan oleh para sahabat, juga ditiru oleh generasi tabi’in dan atba’ at tabi’in. Dengan kondisi lingkungan sosial yang berbeda, perkembangan masyarakat yang semakin maju dan dinamika yang semakin komplek, generasi terbaik terakhir (atba’ at tabi’in)  tidak akan meriwayatkan suatu hadits jika sanad-nya tidak jelas.

     Pada masa atba’ al-tabi’in, penghimpunan hadits disusun secara lebih teratur. Pada masa ini lahir ulama seperti Imam al-Bukhori. Imam al-Bukhori merupakan salah satu ulama perintis penghimpunan hadits yang sistematis. Ia berhasil menyusun sebuah kitab Hadits dengan judul al-Jami’ ash-Shahih al-Musnad min Hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dikenal dengan nama Shahih Bukhori. Kitab shahihnya dikenal sebagai afshoh al-kutub ba’da Al-Qur’an (Kitab yang paling sahih setelah Al-Qur’an). Ia melakukan kerja ilmiah untuk mencari hadits sejak usia 16 Tahun. Kitab pertama yang ia susun adalah al-Tarikh al-Kabir, saat berada di Madinah yang dilakukannya di samping makam Rasulullah. Dalam usahanya mencari hadits lebih dari 16 tahun ia lakukan, dengan menjelajah ke berbagai negara antara lain Khurasan, Mesir, Basrah, Kufah, Syam, Himsi dan ’Asqalan. Dari rihlah ’ilmiah-nya ini, ia berhasil menghimpun 600.000 hadits, 200.000 di antaranya hafal di luar kepala beserta sanadnya (Witono, 2005:154).

     Di samping Imam Bukhori, masih banyak ulama-ulama hadits yang lahir pada masa atba’ at-tabi’in. Antara lain Imam Muslim, lahir pada tahun 204 H dan juga salah satu murid Imam al-Bukhori, menyusun kitab ash-Shahih (dikenal dengan Shahih Muslim). Imam Tirmidzi, lahir pada tahun 209 H, ia juga meriwayatkan hadits dari Imam Bukhori, menyusun kitab al-Jami’ al-Kabir (dikenal dengan Sunan Tirmidzi). Kemudian Imam Nasa’i, lahir tahun 215 H, salah satu murid Imam Muslim, menyusun kitab as-Sunan al-Kubra (dikenal dengan Sunan Nasa’i). Atas rahmat dan ridlo Allah Swt. serta kerja keras mereka keotentikan hadits dapat terjaga hingga sekarang.

    Berdasarkan sedikit penjelasan di atas, dapat diperoleh 3 hikmah, yaitu: 1) Para sahabat, tabi’in dan atba’ at-tabi’in sangat berhati-hati untuk menyampaikan suatu hadits dan selalu memastikan bahwa hadits yang akan disampaikan benar-benar berasal dari Rasulullah baik dari segi lafadz maupun maknanya. 2) Para tabi’in dan atba’ at-tabi’in rela melakukan perjalanan jauh dan membutuhkan waktu berhari-hari untuk melacak satu hadits. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga keotentikan dan kesahihan hadits. 3) Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i adalah contoh ulama yang telah berjasa besar dalam menjaga keotentikan hadits.


Referensi :
l-Khothib, ’Ajaj. (1990). as-Sunnah Qobla at-Tadwiin, Beirut: Dar al-Fikr.
al-Razzāq, Abd. (1966). Tamhīd li Tārīkh al-Islāmiyah. Kairo: Lajnah al-Ta’līf wa al-Tarjamah wa al-Nar. Jil. IX
Al-Sholih, Subhi. (2009). Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmi al- Malayyin.
Witono, Toton. (2005), Imam al-Bukhori dan Kitab Tarikh al-Kabir. Jurnal Studi Ilmu-Ilmi Al-Qur’an dan Hadits. Vol. 6. No. 1.
Zuhri, Muh. (2003). Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis,Yogyakarta: Tiara Wacana

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP