(BDK KITA – Kab.
Demak) “Saya ingin mulai
dengan latar belakang, bagaimana sebenarnya program
penguatan moderasi beragama di perkenalkan oleh Kementerian Agama. Bapak/Ibu,
Moderasi beragama sebagai suatu program, bukan suatu hal yang baru. Jauh sebelum
diluncurkan 2019 akhir oleh Menteri Agama kala itu, Lukman Hakim Saifuddin. Awal tahun 1970-an,
saat menteri agamanya Mukti Ali, itu sudah diperkenalkan dengan nama Tri Logi
Kerukunan”, oleh Sekretaris Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof.
Dr. M. Arskal Salim GP, M.Ag., saat menyampaikan materi Konsep Moderasi
Beragama kepada peserta Pelatihan Penguatan Moderasi Beragama Berbasis Rumah
Ibadah (PMB-BRI) di Wilayah
kerja Kantor Kementerian Agama Kabupaten Demak
(15/11/2023)
Arskal Salim menyampaikan, bahwa menteri agama berikutnya, Alamsyah Ratu Perwiranegara juga
mengenalkan istilah Dialog Antar Iman. Di zaman menteri agama Munawir Sjadzali
ada Kerukunan Beragama. Menteri Tarmizi Taher, Muhammad Quraish Shihab sampai Lukman
Hakim Saifuddin semua bicara tentang toleransi dan kerukunan, sebab keragaman/kemajemukannya
bangsa Indonesia, termasuk kemajemukan secara agama. Agar bisa hidup bersama,
saling menghormati maka konsep hidup yang toleran dibungkus dengan Moderasi
Beragama.
“Munculnya asumsi negatif, bahwa moderasi beragama hanya ditujukan kepada umat Islam saja. Tidak, semua umat beragama diberikan program moderasi beragama. Kita undang kelompok-kelompok tokoh masyarakat, pemuka agama dan pengurus rumah ibadah. Termasuk di Kementrian Agama kita, semua Bimas ikutkan dalam pelatihan ini. Kebetulan umat Islam mayoritas di Indonesia, karena mayoritas maka yang paling bertanggungjawab, paling berkontribusi untuk memelihara persatuan dan kesatuan”, Kata Sesban badan Litbang dan diklat ini.
Materi Konsep Moderasi beragama ini, tidak saja
disampaikankepada peserta secara tatap muka di ruang Pengawas Kankemenag. Kab
demak, namun paparan materi ini juga diikuti secara zoom meeting oleh peserta
PDWK PMB-BRI di Wilayah Kerja Kantor kementerian Agama Kab. Kendal, Sragen dan
Wonogiri.
Moderasi beragama tidak
mencampuradukkan ajaran agama, sebab ini urusan kehidupan bersama bukan urusan
teologis. Mempraktekkan moderasi beragama dalam kepentingan hidup bertetangga,
bermasyarakat dan bernegara. Menghormati keyakinan yang berbeda dan menghargai pendapat
yang berbeda. “Sering disalahpahami, moderasi beragama yang dimoderasi adalah
agama itu keliru. Yang mau di moderasi adalah sikap, praktek keberagamaan kita, cara kita
menafsirkan (agama
-red) seolah-olah kita yang paling benar atau
memilih-milih dalam menafsirkan. Diharapkan moderasi beragama ini, justru
mendekatkan umat beragama kepada
ajarannya, bukan menjauhkaan dari agamanya. Sebab orang moderat itu pasti berilmu dan
bisa menerima orang lain yang beda pendapat”, tegas Arskal
Salim.
Dihadapan 120 peserta, Arskal salim menegaskan “Moderasi beragama bukan antitesa dari radikal, lawan moderasi adalah
ekstrem. Fanatik, mempertahankan keyakinan
itu tidak bisa disebut ekstrim”. Dijelaskannya, bahwa ada 3 hal seseorang
disebut tidak moderat atau ekstrem, pertama seseorang dalam beragama, praktek/cara
pandang mencederai nilai luhur bangsa. Menggunakan agama untuk memusuhi orang
lain, menyerang orang lain, menghabisi orang lain. Kedua, orang punya cara
pandang/praktek keagamaan yang menabrak kesepakatan Bersama dalam berbangsa dan
bernegara. Ketiga, seseorang yang
cara pandang/praktek keagamaannya melanggar ketentuan hukum, melanggar
ketertiban umum.
Moderasi secara bahasa Indonesia artinya
pengurangan kekerasan, penghindaran keekstreman, jangan ke kanan jangan ke
kiri. Bahasa Latin moderatio artinya ke-sedang-an, tidak kelebihan dan
tidak kekurangan, sementara dalam bahasa Inggris Core berarti inti,
standart/ukuran. Maka kehidupan bermasyarakat, harus praktek/cara pandang,
sikap keberagamaan harus adil, seimbang, ditengah-tengah, wasathiyah/moderat, maka
kehidupan bersama akan berlangsung dengan tenang dan damai.
Arskal Salim memaparkan, “Ada 4 indikator
moderasi beragama, pertama komitmen kebangsaan. Menunjukkan sikap menerima bangsa
ini dan negeri ini sebagai konsep yang final, Pancasila dan UUD 45 kita terima.
Kedua Toleran, menghargai perbedaan, mengakui keanekaragaman pendapat/keyakinan
dan memberi ruang untuk berekspresi. Ketiga anti kekerasan, membatasi/menjaga
dirinya dari berbuat kekerasan baik fisik maupun verbal. Keempat penerimaan
terhadap tradisi lokal sepanjang tidak bertentangan ajaran agama”.
Saat memberikan menyampaikan materi, Sekretaris Badan litbang dan Diklat Kementeria Agama ini di damping oleh Kepala BDK Semarang Dr. H. Muchammad Toha, S.Ag., M.Si., beserta Kasubag. TU. Hj. Siti Nurmaunnah, S.HI., M.Si., dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Demak, H. M. Afief Mundzir, S.Ag., M.Si., beserta Kasubag. TU. Dr. H. Nur Fauzi, S.Ag., M.Pd.I. (*)
Penulis : Nuruz Zaman Amsa | Fotografer : Fandy Ahmad
Editor : Tim Publikasi BDK Semarang
Sumber : Pelatihan Tenaga Tenaga Teknis Pendidikan dan keagamaan, Tim Publikasi & Humas BDK Semarang