Top
   
(024) 7472551

Belajar dari Kesungguhan Imam Bukhori

Rabu, 21 April 2021
Kategori: Artikel Ilmiah
6240 kali dibaca

     Kita sering mendengar karya-karya ulama pada jaman dulu. Seorang ulama bisa menghasilnya lebih dari sepuluh karya, tentunya yang sudah dibukukan dan bukan sekedar artikel. Setiap judul buku bisa lebih dari satu jilid. Dalam satu jilid bisa lebih dari 400 halaman. Misalnya saja, kitab Ihya Ulumuddin, karya besar Imam Ghozali, jumlahnya ada 3 jilid. Itu baru satu kitab. Sementara imam al Ghozali menghasilkan karya lebih dari sepuluh kitab. Contoh yang lain misalnya kitab-kitab hadits induk, yang sering disebut dengan kutub as-sittah, enam kitab hadits yang menjadi rujukan utama. Belum lagi kitab-kitab tafsir, dari yang satu jilid, misalnya kitab tafsir jalalain karya Jalaludin as-Suyuti dan Jalaludin al-Mahalli, sampai kitab tafsir yang jumlahnya lebih dari 10 jilid, misalnya tafsir al Misbah karya Prof. Quraish Syihab dan Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili. Mendengar karya mereka, kadang terpikir dalam benak kita bagaimana dan dengan cara apa mereka mengarang dan menyusun hasil karyanya? Mengapa bisa begitu banyak, berjilid-jilid dan berkualitas? Berapa halaman tulisan yang mereka hasilkan dalam satu hari?

     Baiklah, saya akan menyajikan satu contoh ulama dan kesungguhannya dalam tholab al-‘Ilm (mencari ilmu) dan intisyar al-‘ilm (menyebarkan ilmu), sehingga dapat menghasilkan karya-karya besar. Dialah Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il Ibn Ibrahim Bardizbah, dikenal dengan Imam Bukhori, dilahirkan pada hari Jum’at setelah sholat Jum’at pada malah ketiga belas bulan Syawal tahun 194 H di Bukhara. Beliau dikenal sebagai salam seorang ulama yang melakukan penghimpunan hadits secara sistematis dengan metode validasinya jarh wa ta’dil. Apa yang istimewa dari Imam Bukhori?

     Pertama, mendapatkan ilham untuk menjaga hadits. Di dalam kitab Hayat al-Bukhori halaman 14 terdapat sebuat riwayat dari Muhammad ibn Abi Hatim mendengar ucapan imam Bukhori yang berkata: “Saya mendapatkan ilham untuk menjaga hadits”. Ini merupakan salah satu keistimewaan beliau. Lalu, bagaimana dengan kita yang mungkin tidak pernah mendapatkan ilham. Memang, setiap orang memiliki keistimewaan masing-masing. Dan kita juga punya kelebihan sendiri-sendiri. Melihat keistimewaan ilham yang dimiliki oleh Imam Bukhori, bukan berarti kemudian menyurutkan dan melemahkan diri kita terhadap kesungguhan mencari ilmu. Agama Islam memerintahkan umatnya untuk selalu mencari ilmu dari ayunan sampai liang lahat. Perintah agama inilah yang kita jadikan ilham sebagai motivasi untuk selalu berliterasi.

     Kedua, memiliki kecerdasan yang luar biasa. Imam al-Bukhori melakukan kerja ilmiah untuk mencari hadits sejak usia 16 Tahun. Kitab pertama yang ia susun adalah al-Tarikh al-Kabir, saat berada di Madinah yang dilakukannya di samping makam Rasulullah. Usaha mencari hadits dengan menjelajah ke berbagai negari dan berhasil menghimpun 600.000 hadits, 200.000 di antaranya hafal di luar kepala beserta sanadnya. Kecerdasan juga merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Iman Bukhori selain ilham di atas. Maka, yang bisa kita lakukan adalah terus berusaha untuk menjadi cerdas dengan selalu membaca, sebagaimana perintah Allah di awal surat al-‘Alaq, iqro’. Yakinlah, dengan ‘iqro’, maka kita akan menjadi cerdas dalam menjalani kehidupan.

     Ketiga, sangat dermawan apabila berhubungan dengan ilmu. Imam Bukhori dalam satu bulan menghabiskan uang sebesar 500 dirham yang diinfaqkan untuk tholab (mencari hadits). Untuk mendapatkan ilmu, tentu tidak lepas dari yang namanya biaya. Imam Bukhori pun demikian. Beliau menyiapkan sekian dinar untuk ilmu. Bahkan dalam suatu riwayat, setelah sejumlah hadits terkumpul dan dikodifikasikasi, setiap hari beliau mengajarkan kepada murid-muridnya. Setelah pengajaran, beliau bersedekah kepada murid-murid sebagai rasa syukur atas karunia Allah sehingga beliau dapat mengajarkan ilmu (hadits) kepada umat Islam.

     Keempat, melakukan perjalanan antar negara demi mendapatkan hadits dan melakukan validasi hadits. Negara-negara yang dijelajahi oleh Imam Bukhori dalam perjalanan ilmiahnya antara lain Khurasan, Mesir, Basrah, Kufah, Syam, Himsi dan ’Asqalan. Tradisi perjalanan mencari, menelusuri dan memvalidasi hadits ini dikenal juga dengan istilah Rihlah ’ilmiah.  Rihlah ’ilmiah yang dilakukan oleh ulama bukanlah perjalanan biasa. Perjalanan dari satu kota ke kota lain membutuhkan niat dan motivasi yang kuat. Akses jalan dan kondisi geografis pada masa itu tidak seperti jaman modern seperti sekarang ini. Begitu pula dengan sarana transportasi yang ada. Sehingga, untuk menempuh perjalanan dari satu kota ke kota lainnya bisa membutuhkan waktu lebih dari 2 (dua) hari. Untuk sebuah hadits, seorang ulama rela melakukan perjalanan lebih dari 2 atau 3 kota. Ini artinya, akan membutuhkan lebih banyak waktu perjalanan. Rihlah ilmiah ini dilakukan oleh Imam Bukhori dengan sepenuh hati dan keikhlasan. Semata-mata dilakukan sebagai upaya untuk menjaga salah satu sumber syari’at Islam yaitu hadits.

     Kelima, sabar dalam menghadapi cobaan. Fitnah yang terjadi pada diri Imam Bukhori sebagai sebuah cobaan, dihadapinya dengan tabah. Fitnah itu berupa tuduhan bahwa Imam Bukhori menganggap bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Fitnah ini terjadi ketika Imam Bukhori datang ke Naisabur, lalu orang-orang berkumpul mengerumuninya. Imam Bukhori memang masyhur, bahkan kemasyhurannya melebihi tokoh-tokoh yang ada di Naisabur. Keadaan ini membuat iri beberapa tokoh yang ada di sana waktu itu.

     Ketika Imam Bukhori menghadiri suatu majlis, ada seseorang yang bertanya: “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapat anda apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan makhluk?”. Mendapatan pertanyaan ini, Imam Bukhori memalingkan diri. Bahkan meskipun sampai tiga kali pertanyaan ini diajukan, Imam Bukhori tidak menjawabnya, sehingga orang tadi memakinya. Kemudian, Imam Bukhori menjawab: “Al-Qur’an Kalamullah dan bukan makhluk, dan perbuatan manusia adalah makhluk, dan pertanyaan (ujian) ini adalah bid’ah”. Mendengar jawaban Imam Bukhori, orang tadi bukannya tercerahkan. Dia malah menyimpangkan dan memelintir jawaban Imam Bukhori dengan mengatakan: “Imam Bukhori mengatakan al-Qur’an adalah makhluk”. Semakin besar seseorang, maka akan semakin besar ujian yang akan diterima. Seperti hanya pohon, semakin tinggi pohon, maka angin yang menerpanya akan semakin kuat. Dan Imam Bukhori adalah orang yang kuat dan sabar dalam menghadapi fitnah tersebut.

     Demikianlah, kita dapat belajar dari kesungguhan Imam Bukhori dalam mencari ilmu dan melestarikan salah satu sumber syari’at Islam. Kita juga dapat belajar kepribadiannya yang tergambar melalui akhlaknya. Yang tertulis di atas tentu belum secara utuh menggambarkan tentang Imam Bukhori, tentu masih banyak mutiara-mutiara yang tersimpan dalam diri beliau.

 

Referensi :

Ad-Dimasyqi, Muhammad Jamaluddin al-Qosimy, (1992). Hayat al-Bukhori, Beirut: Dar an-Nafais
Nirwana, Dzikri. (2015). Tradisi Rihlah ’Ilmiah di Kalangan Ulama Hadits. Jurnal Insania.Vol.3 No. 2.
Saifuddin. (2009). Transmisi Hadis Dan Kontribusinya Dalam Pembentukan Jaringan Keilmuan Dalam Islam. Jurnal Ushuluddin. Vol. 8 No. 2.

Penulis :

Editor :

Sumber :


Berita Terkait

ARSIP